Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, menegaskan bahwa utang besar negara tidak akan memberatkan masyarakat kelas menengah.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Riko Amir, yang menjelaskan bahwa pembayaran utang akan dilakukan melalui hasil kegiatan ekonomi, bukan dari kontribusi langsung masyarakat.
"Utang pemerintah tidak dibayar oleh kelas menengah secara langsung. Dana untuk membayar utang berasal dari pendapatan negara yang dihasilkan oleh produk domestik bruto (PDB)," kata Riko dalam acara media gathering Kemenkeu di Anyer, Banten, dikutip Jumat (28/9).
Menurut data Kementerian Keuangan, per Agustus 2024 sendiri utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.461,93 triliun, dengan mayoritas utang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang berkontribusi sebesar 88,07 persen. Sisa utang lainnya berasal dari pinjaman luar dan dalam negeri.
Rasio utang pemerintah pada Agustus 2024 berada di angka 38,49 persen dari PDB, masih di bawah batas aman yang diatur dalam UU 17/2023 tentang Keuangan Negara, yang menetapkan batas maksimum rasio utang sebesar 60 persen PDB.
Riko juga menegaskan bahwa pemerintah siap membayar utang yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp800,33 triliun.
"Kami memiliki kemampuan untuk membayar defisit dan utang yang jatuh tempo tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Keuangan juga mengungkapkan bahwa kontribusi kelas menengah terhadap pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) masih sangat kecil, yakni di bawah 5 persen dari total penerimaan PPh OP.
"Pajak yang dibayarkan oleh individu kelas menengah hanya sekitar 1 persen dari total penerimaan," ujar Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak, Muchamad Arifin.