Berita

Kolase Kaesang Pangarep dan Mario Dandy/Repro

Publika

Tebang Pilih Dugaan Gratifikasi Kaesang dan Mario Dandy

JUMAT, 06 SEPTEMBER 2024 | 11:06 WIB | OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

KASUS dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, memunculkan polemik di tengah publik. 

Banyak pihak mempertanyakan mengapa KPK menghentikan investigasi dalam menangani dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya. 

Sebagai perbandingan, kasus Rafael Alun –mantan pejabat Kementerian Keuangan– mendapat perhatian yang jauh lebih cepat setelah penyelidikan gaya hidup hedon anaknya, Mario Dandy, menjadi pintu masuk dalam pengungkapan tindak pidana korupsi yang akhirnya menjerat Rafael.

Analisis Kasus Rafael Alun: Menangkap Pelaku Melalui Anak

Kasus Rafael Alun menjadi contoh nyata bagaimana KPK berhasil menggunakan gaya hidup hedon anak pejabat untuk menelusuri sumber-sumber kekayaan tidak wajar.

Mario Dandy, anak Rafael, diketahui sering memamerkan mobil mewah di media sosial. Setelah terlibat dalam kasus penganiayaan, gaya hidup mewah Mario menjadi sorotan, memicu KPK untuk memeriksa aset keluarganya lebih lanjut. 

Hasil penyelidikan menemukan bahwa Rafael Alun memiliki aset yang tidak sebanding dengan gajinya sebagai pejabat eselon III di Kementerian Keuangan, yang kemudian mengarah pada kasus pencucian uang dan gratifikasi.

KPK bergerak cepat setelah mencium adanya ketidakberesan ini, dan hasilnya Rafael dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas tindak pidana korupsi. 

Pengungkapan kasus Rafael menegaskan bahwa korupsi seringkali terungkap melalui gaya hidup anggota keluarga pejabat yang mencolok, meskipun mereka bukan pejabat negara. 

Dalam hal ini, KPK menunjukkan kapasitasnya untuk melakukan penegakan hukum yang tegas, tanpa memandang status sosial keluarga yang terlibat.

Kasus Kaesang: Mengapa KPK Terkesan Takut dan Ragu?

Di sisi lain, dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, yang terkait penggunaan jet pribadi, menimbulkan spekulasi mengenai adanya tebang pilih dalam penanganan kasus oleh KPK. 

Tokoh Mahfud MD dan aktivis anti korupsi menyuarakan kekecewaannya terhadap KPK, dengan menyatakan bahwa status Kaesang sebagai bukan pejabat tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak mengusut kasus ini. 

Bukan sekadar anak Presiden, tapi juga ketua partai yang mendapatkan pajak rakyat.

Kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, selain terkait posisinya sebagai anak Presiden Joko Widodo, juga perlu dilihat dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). 

Sebagai ketua partai politik, Kaesang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan partainya, termasuk dana yang diterima dari pemerintah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp126 miliar kepada partai politik tiap tahun sejak 2019. 

Dana ini merupakan pajak masyarakat yang harus dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas.

Menurut UU 2/2011 tentang Partai Politik dan Peraturan Pemerintah 1/2018, partai politik menerima dana publik berdasarkan jumlah suara sah yang diperoleh pada pemilu. Dana tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kaderisasi, pendidikan politik, dan mencegah praktik politik transaksional. 

Dengan posisi partainya sebagai penerima dana publik, PSI dan Kaesang sebagai ketua umum terikat pada prinsip transparansi keuangan dan audit oleh BPK. 

Dalam konteks ini, dugaan gratifikasi yang diterima Kaesang, meskipun dalam kapasitas pribadi, seharusnya tidak terlepas dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin partai yang mengelola dana publik dan anak Presiden yang dapat melakukan jual beli pengaruh terhadap berbagai kebijakan negara. 

Partai politik merupakan institusi publik, dan ketua partai bertanggung jawab atas integritas partai, termasuk penggunaan sumber daya yang diperoleh dari pajak rakyat.

Hal ini menjadi lebih penting karena partai politik adalah objek audit keuangan negara, dan ketua partai, termasuk Kaesang, harus dapat mempertanggungjawabkan keuangan partai secara terbuka.

Oleh karena itu, KPK harus bersikap konsisten dalam menindak dugaan gratifikasi, terlepas dari apakah seseorang anak Presiden yang memegang jabatan resmi atau tidak, demi menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Jika KPK tidak menyelidiki kasus Kaesang hanya karena statusnya bukan pejabat, ini akan menjadi preseden buruk. Hal ini bisa membuka celah hukum yang memungkinkan pejabat publik menggunakan anggota keluarga mereka untuk menerima gratifikasi, tanpa takut dijerat hukum.

Pertanyaan Integritas KPK

KPK dihadapkan pada kritik keras terkait dugaan tebang pilih dalam menangani kasus gratifikasi. 

Dalam kasus Rafael Alun, KPK menunjukkan ketegasan dan hasil konkret, namun penolakan KPK menginvestigasi dugaan gratifikasi Kaesang menunjukkan adanya ketidakjelasan. 

Pertanyaan penting yang muncul adalah: Apakah KPK benar-benar independen dalam menangani kasus ini, atau ada kekuatan politik yang mempengaruhi langkahnya?

Keputusan KPK untuk tidak bergerak cepat dalam kasus Kaesang menimbulkan kekhawatiran di tengah publik bahwa lembaga tersebut mungkin telah kehilangan sebagian independensinya. Jika tidak segera ada langkah tegas, KPK berisiko meruntuhkan kepercayaan publik yang selama ini dianggap sebagai benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

KPK harus konsisten dan transparan dalam menangani semua kasus dugaan gratifikasi, termasuk yang melibatkan keluarga pejabat publik, seperti dalam kasus Kaesang. 

Ketidaktegasan dalam mengusut kasus Kaesang, sementara tindakan tegas diambil dalam kasus Rafael Alun, memunculkan kesan bahwa KPK bertindak tidak seimbang.

Di tengah meningkatnya tuntutan publik akan transparansi dan keadilan, KPK harus membuktikan bahwa hukum benar-benar berlaku sama bagi semua, tanpa terkecuali.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya