Demo warga dan nelayan menolak reklamasi pesisir pantai Surabaya/Net
Pemerintah berencana melaksanakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pesisir Terpadu Surabaya Waterfront Land di pesisir timur Kota Surabaya. Proyek ini akan mereklamasi lahan seluas 1.084 hektare dengan estimasi investasi mencapai Rp72 triliun.
Namun, banyak pihak menolak proyek reklamasi ini. Termasuk Ketua GNPK, Miko Saleh, yang merasa prihatin dengan perkembangan reklamasi di Surabaya yang telah diamatinya sejak 2000.
Menurut Miko Saleh, proyek reklamasi ini janggal karena mencakup wilayah yang merupakan kawasan teritorial.
“Kalau masalah reklamasi, ya pasti janggal, di situ ada plang tulisan ‘kawasan teritorial'," ujarnya, dikutip
RMOLJatim, Kamis (5/9).
Kekhawatiran semakin besar karena area reklamasi tersebut sangat dekat dengan Pusdiklat TNI Angkatan Laut. Hal ini, menurut Miko, dapat berdampak buruk pada kemampuan monitoring keamanan di wilayah Surabaya.
"Ini kan tamparan buat negeri ini, reklamasi dilakukan di kawasan teritorial sehingga mengurangi kekuatan atau pertahanan untuk memonitor wilayah Surabaya dan sekitarnya," tegas Miko, yang juga dikenal sebagai pengamat pelayanan publik.
Selain mengurangi kawasan teritorial, Miko juga mempertanyakan kontribusi reklamasi yang telah dilakukan selama ini terhadap pemerintah utamanya terhadap masyarakat sekitar.
"Mana sumbangsih dari hasil reklamasi tersebut? Mana datanya? Sementara yang direklamasi sudah banyak, jadi perumahan, mal, dan lainnya," tambahnya.
Miko Saleh juga menduga ada kekuatan besar yang mengontrol perkembangan properti di Surabaya.
"Ada gurita besar properti yang kuat sehingga pemerintah Surabaya dan Provinsi tidak berdaya," ungkapnya.
Untuk diketahui penolakan proyek reklamasi ini juga datang dari warga Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Pada 3 September 2024, warga berkumpul di Pasar Wisata Harmoni Keputih untuk menolak proyek Surabaya Waterfront Land (SWL) dalam forum Konsultasi Publik Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Warga khawatir bahwa proyek ini akan menggusur mata pencaharian nelayan yang selama ini bergantung pada hasil laut. Meskipun pihak pengembang menjanjikan pekerjaan baru, warga tetap menolak karena merasa proyek ini tidak memberikan manfaat bagi mereka.