Berita

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja saat memberikan kata sambutan, dalam acara Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pilkada Serentak 2024 untuk Tahapan Pencalonan, Kampanye, dan Pungut Hitung, di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (26/8)/RMOL

Bawaslu

Ketua Bawaslu Anggap Putusan MK Lampaui Kewenangan DPR

SENIN, 26 AGUSTUS 2024 | 18:45 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 yang telah ditindaklanjuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan merevisi Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Kepala Daerah.

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengatakan, pada saat demonstrasi besar-besaran terjadi karena dua putusan MK itu berupaya dianulir DPR lewat revisi UU 10/2016 tentang Pilkada, dirinya tengah bertugas di luar negeri.

"Kita dihadapkan pada turbulensi besar di awal-awal tahapan ini. Alhamdulillah saya enggak di sini. Tapi saya ketar-ketir, degdegan. Kalau KPU diduduki, tidak mengikuti putusan (MK nomor) 60 dan 70, maka akan pindah turbulensinya ke Bawaslu," ujar Bagja, dalam acara Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pilkada Serentak 2024 untuk Tahapan Pencalonan, Kampanye, dan Pungut Hitung, di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (26/8).

Anggota Bawaslu dua periode itu mengaku bersyukur, KPU memasukkan amar putusan MK dalam draf Peraturan KPU (PKPU) perubahan tentang Pencalonan Kepala Daerah. Di mana, norma ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah mengacu perolehan suara partai bukan perolehan kursi parlemen, dan syarat minimum usia calon kepala daerah dipatok berdasarkan tanggal penetapan calon.

"Makanya kita bisiki Pak Afif (Ketua KPU Mochammad Afifuddin, red). Alhamdulillah sudah patuhi MK. Karena turbulensi terakhir adalah Bawaslu (kalau KPU tidak menjalankan putusan MK)," katanya.

Kendati begitu, Bagja memandang putusan MK telah melampaui tugas DPR, yaitu mengubah Undang-undang. Sebab, dia mendapati MK kerap tidak konsisten dalam membuat keputusan atas beberapa perkara uji materiil norma Undang-undang.

"Kita pengalaman, pada saat sengketa pencalonan DPD. Putusan MK tahun 2018 membuat syarat berubah pada saat proses tahapan DCS (daftar calon sementara) ke DCT (daftar calon tetap)," papar Bagja.

"Walaupun kita bisa kritik MK karena ada ketidakkonsistenan pada MK itu, mengubah syarat mencalonkan DPD dan ada tafsiran yang berbeda antara KPU dan Bawaslu, ini yang harus kita benahi bersama," sambungnya.

Dia menilai, idealnya pada saat tahapan penyelenggaraan pemilihan sedang berlangsung, tidak ada perubahan norma peraturan perundang-undangan.  

"Kami sudah berkali-kali mengingatkan itu, nanti ke depan tidak boleh ada putusan-putusan pengadilan yang diputuskan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada, apalagi terutama dengan (tentang) syarat," tuturnya.

Ditambah, Bagja beranggapan putusan MK 60 dan 70 berbeda kedudukannya. Sebab, di putusan 60, MK benar-benar mengabulkan gugatan penggugat soal threshold pencalonan. Sementara di putusan 70, MK menolak tetapi ada pertimbangan hukum yang isinya memerintahkan KPU untuk mengikuti aturan batas usia cakada yang ada dan sudah jelas diatur di UU Pilkada.

"Seharusnya yang kita pegang adalah amar putusan, bukan pertimbangan. Perintah itu ada di amar, bukan pertimbangan hukum. Di putusan 60 dan 70 agak berbeda," kata Bagja berpendapat.

Khusus putusan 60, Bagja menganggap MK telah melampaui kewenangan DPR karena langsung mengubah norma di UU Pilkada, yakni Pasal 40 ayat (2) UU Pilkada.

"Di putusan 60 MK membuat aturan baru. Sebenarnya tidak bolah active judicial, yang ada passive judicial. Yang tidak boleh itu menolak permohonan. Inilah kerawanan yang ada dan disaksikan di depan mata," ungkapnya.

Tetapi, Bagja memahami kondisi yang terjadi pascaputusan MK telah dibarengi dengan respons partai politik DPR yang secara tiba-tiba merevisi UU Pilkada, hingga akhirnya memunculkan gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah.

"Saya sampaikan ke Pak Afif lakukan ini (patuhi putusan MK), kalau tidak turbulensinya akan luar biasa," demikian Bagja.

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Sehari Usai Pencoblosan, Pj Gubernur DKI Lantik Walikota Jakpus

Kamis, 28 November 2024 | 22:00

Timses Zahir-Aslam Kena OTT Dugaan ‘Money Politik’ di Pilkada Batubara

Kamis, 28 November 2024 | 21:51

Polri Perkuat Kerja Sama Bareng Dukcapil Kemendagri

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

KPK Tahan 3 Ketua Pokja Paket Pekerjaan Perkeretaapian DJKA

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

Firli Bahuri Tak Hadiri Pemeriksaan Polisi karena Ada Pengajian

Kamis, 28 November 2024 | 21:25

Ini Kebijakan Baru Mendikdasmen Untuk Mudahkan Guru

Kamis, 28 November 2024 | 21:22

Rupiah Terangkat Pilkada, Dolar AS Masih di Rp15.800

Kamis, 28 November 2024 | 21:13

Prabowo Menangis di Depan Ribuan Guru Indonesia

Kamis, 28 November 2024 | 21:11

Pengamat: RK-Suswono Kalah karena Meremehkan Pramono-Doel

Kamis, 28 November 2024 | 21:04

Perbaiki Tata Ekosistem Logistik Nasional, Mendag Budi Sosialisasi Aturan Baru

Kamis, 28 November 2024 | 21:02

Selengkapnya