Putusan Mahkamah Agung (MA) 23 P/HUM/2023 menjadi materi utama yang dibahas dalam konsinyering Komisi Pemilihan Umum (KPU), bersama Komisi II DPR yang berlangsung mulai hari ini hingga dua hari ke depan, di Hotel Ayana Mid Plaza, Sudirman, Jakarta Pusat.
Hal tersebut mendapat kritikan dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), mengingat pemberlakuan Putusan MA itu tak lagi relevan dibahas dalam konsinyering untuk Penyusunan draf revisi Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Kepala Daerah, karena telah muncul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang secara tegas menganulir putusan MA.
Divisi Monitoring KIPP, Brahma Aryana menjelaskan, isi konsinyering KPU dengan Komisi II DPR seharusnya konsen membahas putusan MK, bukan lagi membahas mengenai Putusan MA yang mengubah isi Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Bunyi dari putusan MA tersebut adalah, mensyaratkan usia cakada adalah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon walikota dan wakil wali kota, terhitung ketika hari h pelantikan cakada terpilih.
Sementara, bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 telah sesuai dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 tentang Pilkada dan pertimbangan hukum dalam Putusan MK 70/PUU-XXII/2024. Di mana isinya, mensyaratkan usia cakada adalah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon walikota dan wakil wali kota, dihitung berdasarkan hari h penetapan calon.
"Sekarang kita melihat ada surat undangan yang isinya membahas PKPU pencalonan. Salah satu muatannya yang akan dibahas itu yang paling pertama adalah putusan MA terkait pembatalan soal pasal mengenai batas usia cakada di UU Pilkada yang termuat dalam PKPU sebelumnya (PKPU 9/2020) dan putusan MK nomor 70," ujar Brahma kepada
RMOL, Sabtu (24/8).
"Seharusnya yang dipedomani atau dijadikan sandaran penyusunan PKPU ini adalah UU Pilkada, dimana hal yang sama ketika MA memutus atau mengubah PKPU tersebut, yang pasalnya itu kan sudah diubah lagi oleh Putusan nomor 70 itu (sesuai makna Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada)," sambungnya.
Sosok yang kerap disapa Bram ini menegaskan, mekanisme pembuatan PKPU tentang Pencalonan Kepala Daerah adalah memedomani UU Pilkada, karena PKPU posisinya ada di bawah UU. Di samping itu, kewajiban konsultasi kepada DPR dan Pemerintah dalam menyusun regulasi teknis juga tidak dapat mengubah isi dari yang disusun.
"Kalau merujuk UU Pembentukan Peraturan Perundang-undang, segala regulasi yang berada di bawah UU harus merujuk UU. Dalam hal ini termasuk PKPU. Maka pada saat KPU merevisi PKPU pencalonan itu harusnya merujuk Putusan MK kemarin," sambungnya menjelaskan.
Oleh karena itu, Bram melihat gelagat yang tidak beres dari agenda konsinyering KPU bersama Komisi II DPR.
Padahal, tanda pagar (tagar)
#peringatandarurat dan
#kawalputusanMK trending topic di beragam media sosial. Ditambah, terdapat aksi massa besar-besaran di Jakarta dan wilayah lain menolak pembangkangan konstitusi dengan cara mengabaikan putusan MK.
"Jadi kita melihat di surat konsinyering itu tidak ada putusan MK. Apakah KPU tidak melihat urgensi yang ada sekarang ini? Apakah kurang reaksi masyarakat kemarin yang fokus dengan masalah ini, dengan hastag di media sosial kawal putusan MK, sebaran soal peringatan darurat di mana-mana, aksi demonstrasi, apakah kurang menjadikan itu urgensi bagi KPU?" ucapnya menyesalkan sikap KPU.
"Bahwa ini loh yang menjadi fokus publik saat ini, bahwa publik sedang peduli mengawal putusan MK. KPU tidak melihat urgensi itu. Dan itu terlihat dari pembahasannya (di konsinyering) poin nomor satu adalah Putusan MA, bukan putusan MK," demikian Bram menambahkan.
Dalam poin pertimbangan hukum MK pada putusan perkara nomor 70/PUU-XXII/2024, majelis hakim konstitusi memandang norma Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Pilkada sudah jelas menetapkan usia minimum cakada dihitung genap ketika ditetapkan sebagai calon.
Norma dalam UU Pilkada tersebut sebenarnya sudah dituangkan ke dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Namun, KPU sempat mengubahnya ketika MA mengeluarkan putusan 23 P/HUM/2023.
KPU mengeluarkan PKPU 8/2024 sebagai perubahan PKPU 9/2020 sebagai imbas dari munculnya putusan MA itu. Dimana isinya mengubah patokan penghitungan syarat minimum usia cakada menjadi berdasarkan tanggal pelantikan cakada terpilih, bukan lagi saat penetapan sebagai cakada di tahapan pendaftaran.
Beberapa pihak menganggap, pengaturan syarat minimum usia cakada tersebut terindikasi punya korelasi langsung dengan pencalonan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Pasalnya, indikasi itu menguat ketika ada langkah revisi UU Pilkada oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR secara kilat, setelah putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 menganulir putusan MA 23 P/HUM/2023 yang sudah diadopsi KPU ke dalam PKPU 8/2024.
Dalam draf Rancangan UU (RUU) Pilkada yang disepakati pada rapat Baleg di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu malam (22/8), terdapat bunyi pasal yang mengamini putusan MA, bahwa syarat batas minimum usia cakada dipatok berdasarkan waktu pelantikan cakada terpilih.
Hasil dari revisi kilat UU Pilkada itu, akhirnya memunculkan gelombang aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di wilayah Jakarta, dan juga beberapa daerah di Indonesia.