KH Jamaluddin F Hasyim/Ist
DALAM tulisan yang lalu saya menyinggung ada level di kalangan ulama berbagai bidang.
Dalam satu masalah, harus bertanya ke ulama bidang apa kita merujuk. Jangan tanya fiqih kepada ulama tafsir, atau tasawuf kepada ulama hadis misalnya.
Bukan hanya tidak menguasai, bahkan antar bidang seringkali terjadi gesekan. Sudah masyhur bagaimana ulama hadis di masa lalu nyinyir kepada kaum sufi, juga kepada ahli ilmu kalam.
Bagaimana kaum sufi sering membuat pernyataan yang dianggap "merendahkan" ulama syariat sebagai belum sampai ilmunya kepada hakikat.
Kaum fuqaha menganggap ulama hadts bersifat tekstualis sehingga kurang fleksibel dalam melihat persoalan. Banyak lagi persinggungan antar disiplin ilmu agama.
Artinya, menanyakan suatu masalah yang bukan ahlinya, meskipun dia ahli ilmu di bidang lainnya adalah sebuah kekeliruan.
Keliru yang bertanya dan keliru yang menjawab. Biasanya kalau ulama sejati akan menolak berbicara di luar bidangnya meskipun untuk menjadi ulama apapun ada kualifikasi minimal yang sudah dimilikinya, namun di luar bidangnya tidak mendalam.
Mereka akan dengan senang melayani pertanyaan yang sesuai bidang, dan memilih menghindari masuk ke bidang yang bukan keahliannya.
Jika bertanya kepada ulama yang bukan bidangnya saja tidak tepat, keliru, lalu bagaimana dengan mereka yang bukan ulama namun hanya bisa membaca Al-Qur'an dan hadis saja? Cuma membaca, bukan memahami dan mendalami.
Jadi bagaimana seorang penyanyi bisa mendeklarasikan pembatalan nasab secara publik, padahal dia bukan pakar sama sekali dan hanya mendengarkan keterangan sebagian pakar (yang bukan pakar nasab)?
Apakah maksud dari deklarasi semacam itu, ingin diikuti atau sekedar klarifikasi? Apakah ada tuntutan kepadanya untuk mendeklarasikan itu? Jika tidak, kita patut bertanya, Antum ini mau edukasi umat atau tebar fitnah perpecahan?
Penulis adalah Ketua Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta/ Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta