Pengantin China/The Straits Times
Rancangan undang-undang (RUU) tengah disusun pemerintah China untuk mempermudah pasangan mendaftarkan pernikahan dan mempersulit pengajuan cerai.
Kementerian Urusan Sipil merancang RUU tersebut guna membangun masyarakat China yang ramah keluarga.
Kebijakan ini diharapkan dapar mendorong pasangan muda untuk menikah dan memiliki anak setelah populasi China turun selama dua tahun berturut-turut.
RUU baru akan menghapus pembatasan regional untuk pernikahan. Di mana pada undang-undang sebelumnya mewajibkan pernikahan harus ditangani di lokasi pendaftaran pasangan tersebut.
Untuk perceraian akan dipersulit pengenaan masa tenggang selama 30 hari, di mana, jika salah satu pihak tidak bersedia bercerai, mereka dapat menarik permohonan, mengakhiri proses pendaftaran perceraian.
Menurut seorang profesor di Institut Studi Kependudukan dan Pembangunan di Universitas Xi’an Jiaotong, Jiang Quanbao menilai RUU itu akan meningkatkan stabilitas sosial dan berkontribusi para penguatan pernikahan.
"Peraturan tersebut bertujuan untuk mempromosikan pentingnya pernikahan dan keluarga, mengurangi perceraian impulsif, menegakkan stabilitas sosial, dan lebih melindungi hak-hak sah para pihak yang terlibat," ujarnya, seperti dimuat Reuters pada Kamis (15/8).
Kendati demikian kebijakan pengetatan perceraian juga menuai cemoohan dari netizen China dan ramai menjadi topik utama di internet.
“Menikah itu mudah, tetapi bercerai itu sulit. Sungguh aturan yang bodoh,” tulis seorang netizen di platform media sosial China Weibo, yang menarik puluhan ribu like.
Menurut data resmi, jumlah pasangan China yang menikah pada paruh pertama tahun ini turun 498.000 dari tahun sebelumnya menjadi 3,43 juta, terendah sejak 2013, karena lebih banyak anak muda menunda pernikahan.
Pernikahan biasanya dipandang sebagai prasyarat untuk memiliki anak karena kebijakan yang tersebar luas, termasuk yang mengharuskan orang tua untuk menunjukkan surat nikah untuk mendaftarkan bayi dan menerima tunjangan.
Banyak anak muda China memilih untuk tetap melajang atau menunda pernikahan karena khawatir akan keamanan kerja dan prospek masa depan mereka karena pertumbuhan di negara dengan prekonomian terbesar di dunia itu melambat.