Ilustrasi Pilkada 2024/Ist
Polemik sejumlah petahana bupati yang dikabarkan tidak bisa maju kembali karena adanya aturan masa jabatan terus menggelinding.
Hal ini terjadi di beberapa daerah yang calon petahananya pernah menggantikan bupati sebelumnya di tengah masa jabatan, karena bupatinya tersangkut kasus korupsi.
Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Haykal berpendapat, yang diatur dalam putusan MK Nomor 22 Tahun 2009 sebenarnya adalah masa jabatan pejabat definitif yang statusnya menggantikan.
”Ketika ada kepala daerah yang terpilih melalui pilkada berhalangan tetap pada pertengahan masa jabatannya, misalnya setelah satu tahun menjabat, maka dalam empat tahun kebelakang itu akan diganti ya, melalui proses penggantian," kata Haykal kepada wartawan, Minggu (4/8).
"Nah pejabat definitif yang kemudian dilantik sebagai penggantinya melalui proses tersebut, itulah yang dimaksud dalam putusan MK Nomor 22 itu," sambungnya.
Haykal mencontohkan gubernur atau bupati di tengah masa jabatan berhalangan tetap, entah itu karena meninggal dunia atau tertangkap aparat penegak hukum dan sebagainya, lalu digantikan wakilnya.
Ketika wakilnya menggantikan sebagai pejabat definitif, maka hal itu dihitung sebagai masa jabatan. Saat yang bersagkutan menjabat lebih dari dua setengah tahun, maka dia dianggap sudah melaksanakan satu periode, dan jika belum mencapai itu dianggap belum mencapai satu periode.
Hitungan dua setengah tahun adalah hitungan secara proporsional. Artinya Ketika dia belum mencapai dua setengah tahun, dia belum dianggap melewati satu periode.
“Jadi walaupun dia sudah sangat-sangat mendekati, misalnya dua tahun, lima bulan, sepuluh hari, tapi kan belum genap dua setengah tahun, maka belum bisa juga dia dianggap sebagai satu periode,” kata Haykal.
Bagaimana jika pejabat tersebut tidak pernah dilantik, sementara dalam Peraturan KPU tertulis penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.
Menurut Haykal, jika tidak dilantik, berarti ada proses administrasi yang disalahi. Seharusnya tetap dilantik, karena ada pengucapan sumpah jabatan yang harus disampaikan.
Ketentuan dalam putusan MK juga tidak mengatur tentang yang menggantikan sementara ketika kepala daerah cuti. Misalnya, bupati sedang kunjungan ke luar negeri, melakukan studi banding dan sebagainya. Itu harus ada PLH (Pelaksana Harian), biasanya wakilnya, atau jika tidak ada Sekda.
“Itu tidak termasuk sebenarnya di dalam ketentuan yang diatur bahwa dia dianggap dua setengah tahun, tidak ada ketentuan dihitung secara komulatif," tutupnya.
Pada PKPU No 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pada bagian ketiga persyaratan calon, pasal 14, huruf m berbunyi "belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota selama 2(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota dan calon walikota.
Pada pasal 19 huruf b dijelaskan, satu kali masa jabatan yaitu, selama lima tahun penuh;dan atau paling singkat selama 2,5 (dua setengah) tahun. Pada huruf c tertulis, masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
Lalu pada huruf e, tertulis, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan. PKPU tersebut dibuat dengan mempertimbangkan putusan MK Nomor 22 tahun 2009.