Ilustrasi/Business Standard
Peningkatan kerjasama China dan Rusia di wilayah bersalju Arktik dinilai mampu mengancam stabilitas kawasan.
Hal itu disampaikan Departemen Pertahanan dalam laporannya, seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (23/7).
Disebutkan bahwa Rusia telah membuka kembali ratusan situs militer era Soviet di Arktik. Sementara China mempunyai ambisi yakni membangun "Jalur Sutra Kutub" di sana.
Kedua negara itu diduga telah bekerjasama untuk mengincar sumber daya mineral dan rute pelayaran baru seiring dengan menyusutnya lapisan es akibat perubahan iklim.
"Meskipun ada perselisihan di antara China dan Rusia, tetapi keberpihakan mereka yang semakin besar di kawasan ini menimbulkan kekhawatiran, dan (Departemen Pertahanan) terus memantau kerja sama ini," bunyi laporan tersebut.
Rusia mengembangkan rute pelayaran Arktik agar bisa mengirimkan lebih banyak minyak dan gas ke China di tengah sanksi Barat.
Sementara China mencari rute pelayaran alternatif untuk mengurangi ketergantungannya pada Selat Malaka.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning menegaskan bahwa aktivitas mereka di Arktik bukan sebuah ancaman. Beijing hanya berusaha memperkuat kerjasama dan menjaga stabilitas perdamaian.
"China berpartisipasi dalam urusan Arktik sejalan dengan prinsip dasar menghormati kerja sama yang saling menguntungkan dan pembangunan berkelanjutan, serta memperkuat kerja sama dengan pihak lain untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas,” tegasnya.
Tidak tinggal diam, AS, Kanada, dan Finlandia akan membentuk konsorsium untuk membangun kapal pemecah es yang nantinya digunakan untuk melawan ancaman Rusia dan China di kawasan kutub.