Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad/RMOL
Kasus penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja oleh oknum yang tidak bertanggungjawab tengah didalami Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di mana data pribadi masyarakat digunakan untuk pembuatan rekening bank dan pengajuan pinjaman online tanpa sepengetahuan pemilik identitas yang sah.
Di sisi lain, OJK dianggap oleh DPR RI kurang mampu untuk menunjukkan fungsinya dalam mengawasi dan menindak lembaga perbankan dan fintech.
Dua isu penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja yaitu Dewi Rahmawati dengan PT CAS dan BNI, serta kasus Muhammad Lutfi dan 27 pelamar kerja di Pusat Grosir Cililitan (PGC) Jakarta Timur, yang kini menjadi sorotan masyarakat pun dibahas oleh legislator Senayan.
Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad, menilai kasus penyalahgunaan identitas pribadi menunjukkan betapa buruk kualitas industri keuangan di Indonesia. Jika validasi data sangat buruk maka itu membuat kepercayaan publik menurun.
Ia menegaskan perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap tata kelola sistem keuangan digital yang diatur oleh OJK.
Sesuai mandat UU ITE Nomor 1/2024, transaksi keuangan digital wajib diamankan dengan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi.
Politikus Gerindra ini menyampaikan, kementerian dan lembaga juga harus memiliki Data Center (DC) dan Disaster Recovery Center (DRC) yang sebenarnya merupakan amanat UU ITE. Selama DRC belum ada, maka akan ada terus korban-korban lainnya.
Bila dilihat fungsinya saat ini, lanjut Kamrussamad, OJK hanya sebagai lembaga yang menerima laporan saja, tetapi tidak ada penindakan pengawasannya.
"Jadi, mulai dari dia kan yang memberi izin, dia yang mengawasi, dia yang menyelidiki, dia yang menindak atau memvonis. Nah SDM-SDM yang dia pakai ini, bangun sistem pendidikan. Karena kalau tidak disiapkan SDM-nya, sulit. Yang kuat, yang andal, yang unggul itu sulit," tutur Kamrussamad dalam keterangannya, Rabu (10/7).
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menjelaskan, pihaknya akan mendalami laporan-laporan masyarakat terkait penyalahgunaan identitas pribadi pelamar kerja untuk pinjol. Dia memastikan OJK akan memberikan sanksi tegas apabila ada kelalaian dari pihak bank atau fintech.
"Kami akan lihat lebih lanjut pendalaman mengenai hal itu, karena tentu kalau hal itu benar dan demikian berarti tidak tepat dengan perilaku suatu perusahaan di sektor jasa keuangan (sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku). Kami akan dalami informasi tadi itu, ya, dengan data yang sebenarnya," tutur Mahendra.
Mahendra juga memastikan OJK akan mendalami kasus 27 pelamar kerja di PGC Jaktim, yang datanya dipakai orang tak bertanggung jawab untuk pinjaman online.
"Pengaturan dan sanksi mengenai hal-hal itu sudah jelas. Hanya memang kasus persisnya seperti apa yang terjadi itu kami akan pelajari," kata Mahendra.
Mahendra mengklaim pihaknya terus berupaya mendisiplinkan Fintech P2P Lending/pinjol dan perbankan, khususnya terkait kepatuhan terhadap UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
"Kalau itu selalu konsisten, tidak ada perbedaan mengenai hal itu karena itu, kan, Undang-undang yang berlaku secara menyeluruh. Tetapi memang penerapan
enforcement-nya, pentahapannya harus kami laksanakan di konteks lapangan ini. Kalau itu tidak ada perbedaan pandangan tentu kita menghormati dan tunduk kepada perintah Undang-undang," tandas Mahendra.