Meski sudah dinyatakan lolos, remaja asal Kota Blitar, RM, terancam gagal masuk perguruan tinggi negeri di Malang. Pasalnya harus membayar biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar Rp4.750.000 per semester.
UKT sebesar itu dinilai memberatkan bagi MW, ibu RM yang bekerja dengan penghasilan Rp2,5 juta per bulan.
"Biaya ini besar sekali. Saya tidak yakin anak saya bisa kuliah di sana," ungkap MW, seperti dikutip dari
Kantor Berita RMOLJatim, Kamis (27/6).
MW berharap pihak kampus dapat menurunkan biaya UKT, sehingga anaknya tetap bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
Menurut MW, RM temasuk siswa berprestasi di Kota Blitar. Selama sekolah hingga lulus, nilai-nilai rapornya bagus. Pernah juara lomba pidato Bahasa Inggris dan menjadi duta baca. Sekarang RM membantu mengajar di sekolah anak-anak jalanan di kotanya.
"Saya berharap anak saya bisa kuliah, ada keringanan dari kampus, seperti kakaknya yang sudah kuliah di kampus negeri lainnya di Malang," harap MW yang hanya diberi batas waktu tiga hari, tepatnya 30 Juni, untuk menyelesaikan biaya UKT.
MW mengatakan, kakak RM sebelumnya juga kuliah di perguruan tinggi negeri di Malang, tapi beda kampus. Bedanya, biaya UKT kakak RM lebih terjangkau, yakni Rp1 juta per semester.
Sebab tu MW berharap ada keringanan dari kampus. Tapi jika biaya UKT tetap tinggi, RM terpaksa harus menutup impiannya untuk kuliah.
"Ya kalau biaya UKT mahal, bagaimana lagi, kami tidak mampu," imbuh MW.
Terpisah, pegiat pendidikan di Kota Blitar, Juni Levesque, menyesalkan biaya UKT yang tinggi. Menurutnya, hal itu tidak mencerminkan sisi keadilan.
"Jika besaran UKT Rp4.750.000, ibu RM harus menyisihkan Rp800 ribu per bulan. Padahal dia single parent dan harus menghidupi dua anak. Sementara penghasilan per bulan hanya Rp2,5 juta, belum termasuk kontrak rumah sebulan Rp750 ribu, BPJS, listrik, PDAM, paket data internet, dan makan sehari-hari," katanya.
Belum lagi ibunda RM harus menyisihkan uang UKT untuk anak pertamanya yang juga kuliah di Malang, sebesar Rp200 ribu per bulan. }Intinya, biaya UKT ini sangat memberatkan orang-orang berpenghasilan rendah," kata Juni.
"Ibu ini ingin anaknya kuliah, meski tidak gratis. Dia bersedia membayar, tapi mengaku berat jika terlalu mahal," jelas pendiri sekolah anak jalanan Gang Cutin di Kota Blitar itu.
Juni pun mempertanyakan rumusan perhitungan penentuan biaya UKT yang mahal. Padahal sebelumnya, pihak kampus telah mendata mereka.
"Dari situ seharusnya mereka (kampus) tahu kalau hidupnya pas-pasan. Ini bertolak belakang dengan nasib anak lain yang kedua orangtuanya bekerja sebagai ASN, tetapi biaya UKT di kampus negeri cuma dibebani Rp3 juta. Coba, bagaimana rumusannya. Yang satu anak orang berpenghasilan rendah, satunya anak ASN. Di mana keadilannya?" kritik Juni.
Dia mengaku iba dengan nasib RM jika sampai tidak meneruskan pendidikan ke jenjang tinggi hanya karena tidak mampu membayar biaya UKT.
"Padahal tujuan pendidikan untuk memperbaiki taraf hidup seseorang menuju lebih baik. Yang terjadi kebalikannya. Mereka tidak bisa menempuh pendidikan gara-gara UKT mahal. Saya yakin kasus ini bukan satu-satunya. Saya yakin ini juga dialami banyak anak yang ingin kuliah di kampus negeri," paparnya.
Juni berharap kasus ini menjadi perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. "Semoga jadi perhatian Pemkot Blitar. Ibu RM selama ini tidak pernah menerima bantuan sosial apapun, termasuk BLT, karena dianggap bukan keluarga tidak mampu," pungkasnya.