Ilustrasi Foto: Caleg perempuan PPP, Fernita (kanan)/Ist
Kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melenggang ke parlemen pada Pemilu 2024 di antaranya disebabkan tidak mampu menggaet suara perempuan secara maksimal.
Padahal, kaum hawa khususnya emak-emak merupakan pemilih emosional yang jumlahnya sangat besar.
Demikian disampaikan Pengamat Fata Institute (FINS) Saifudin Asrori dalam keterangannya, Jumat (21/6).
“Bahkan tokoh-tokoh perempuan di PPP juga tidak bisa memaksimalkan suara dari kaum mereka. Padahal, dengan rekam jejak yang panjang sebagai tokoh perempuan, seharusnya banyak caleg perempuan PPP yang memberikan perhatian khusus pada suara dan aspirasi kaum Hawa,” kata Saifudin.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengamati di sejumlah caleg tokoh perempuan PPP tidak bisa mendulang suara dengan maksimal.
Dia mencontohkan di Banten, caleg perempuan belum banyak dibicarakan publik. Padahal seperti partai lainnya, 30 persen dari Caleg PPP adalah kaum perempuan.
“Caleg-caleg PPP di Dapil III Banten misalnya, yang kebetulan dekat dengan tempat aktivitas saya, tidak ada Caleg DPR RI PPP yang menjadi pembicaraan publik,” jelas Saifudin.
Adapun, salah satu kader perempuan di Dapil III Banten adala Fernita. Di kalangan DPP PPP, nama Fernita sebenarnya cukup popular. Hal ini terlihat dari seringnya mewakili mewakili PPP dalam pemberitaan media.
Saat ini, Fernita saat ini masih menjabat sebagai Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP. Fernita juga sempat menjabat Wakil Ketua Umum di bawah pimpinan M. Romahurmuziy yang kemudian dilanjutkan di dalam Plt Suharso Monoarfa.
Sebelumnya dia tercatat sebagai Ketua Departemen hingga menjadi Ketua DPP di era kepemimpinan Suryadharma Ali.
Di pemerintahan sempat menjabat sebagai staf khusus Menteri Agama, dan di organisasi sayap partai sempat menjabat Plt Ketua Umum PP Wanita Persatuan Pembangunan (WPP).
Namun sayang, nama besar Fernita hanya mendapatkan 2.909 suara di Pemilu 2024 dari Dapil Banten III (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan). Suara Fernita yang maju untuk DPR RI bahkan kalah dibanding Caleg DPRD.
Kegagalan Fernita di Banten III juga merupakan cerminan PPP yang tidak bisa mencari suara dari kalangan perempuan. Padahal, potensi kaum perempuan cukup besar. Hanya saja, potensi yang dimilikinya tidak bisa dimaksimalkan.
Kuat jaringan di kalangan perempuan ternyata tidak cukup untuk menarik simpati pemilih termasuk suara perempuan. Fenomena di PPP ini menunjukkan anomali suara tidak bisa mengkonsolidasi segmen suara perempuan.