Berita

Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma/Net

Politik

Dukung Masyarakat Adat, Senator Papua Barat Kritik Kebijakan Investasi

KAMIS, 06 JUNI 2024 | 06:28 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Perjuangan masyarakat adat Awyu dan masyarakat adat Moi hingga melakukan aksi damai untuk mempertahankan wilayah adatnya di depan Kantor Mahkamah Agung (MA) telah menyita perhatian publik.

Seruan ‘All Eyes on Papua’ pun menjadi trending di media sosial dalam beberapa waktu ini dan mendapat banyak dukungan publik.

Masyarakat adat menuntut agar hakim MA yang memeriksa perkara Masyarakat Adat di Tingkat Kasasi, dapat mengimplementasikan perintah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan melindungi Eksistensi Masyarakat adat.

Terkait hal itu, senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma pun angkat bicara.

“Perjuangan suku Awyu dan Moi melawan sawit sudah lama, menempuh jalur hukum hingga akhirnya mendatangi MA. Apa yang dilakukan Masyarakat Adat Awyu dan Masyarakat Adat Moi, merupakan bagian dari perjuangan untuk mengembalikan eksistensi wilayah adatnya, yang diduga dihilangkan melalui penerbitan Surat Rekomendasi Kelayakan Lingkungan kepada PT. Indo Asiana Lestari, namun kemudian ditemukannya kejanggalan-kejanggalan dalam proses peradilan sampai di tahap kasasi,” ujar Filep kepada awak media, Rabu (5/6).

“Masyarakat berharap MA tetap tegak lurus terhadap aturan yang berprinsip pada keadilan sebagaimana amanat Pancasila. Maka penting juga untuk memahami secara sosiologis-historis kekuasaan masyarakat adat atas wilayah adatnya,” ungkap dia.

“Hal ini sangat penting dituntaskan untuk memutus konflik akibat investasi. Negara harus hadir membela kepentingan rakyat di atas segala kepentingan, harus memperhatikan hak-hak dasar masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan hidup,” tegasnya.

Terkait masalah ini, Filep mengingatkan bahwa eksistensi masyarakat adat telah lebih dulu ada daripada negara yang dalam kerangka teoritis disebut sebagai komunitas awal (gemeinschaft). Komunitas yang sifatnya natural ini, terbentuk dari ikatan primordial dan sukarela, secara vertikal dengan semesta dan horizontal dengan sesamanya.

“Dalam keselarasan dengan semesta, masyarakat adat menciptakan struktur-struktur dan aturan komunal, yang pada gilirannya melahirkan adanya kepemimpinan lokal/komunal, guna melindungi kekayaan komunal bersama, misalnya hutan, tanah, Sumber Daya Alam (SDA). Dari sinilah lahir hak ulayat (beschikkingsrecht) sebagai pengejawantahan dari otoritas masyarakat adat atas tanah dan lingkungan hidupnya, bahkan pada saat berhadapan dengan negara sekalipun,” urai Filep.

Menurutnya, meskipun negara yang secara sadar hadir setelah masyarakat adat eksis, berupaya melindungi masyarakat adat, melalui Konstitusi Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dimana identitas budaya dari masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, namun sayangnya konstruksi pasal-pasal tersebut mensyaratkan adanya pengakuan, yaitu sepanjang masih hidup. Inilah sumber awal kelemahan perlindungan terhadap masyarakat adat.

“Meskipun terdapat regulasi lainnya, seperti UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), atau UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja, namun implementasi perlindungannya masih lemah. Terbukti bahwa masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Papua, hingga saat ini masih terus melakukan perlawanan,” katanya.

“Jika Konstitusi sudah meletakkan dasar penghormatan dan pengakuan sekaligus perlindungan kepada masyarakat adat, mengapa secara implementatif tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen? Hemat saya, ada beberapa sebab pokok. Pertama, penerapan kebijakan pembangunan atas nama kepentingan umum yang cenderung abai terhadap masyarakat adat. Di sini solusi konsinyasi seolah dijadikan landasan bagi pengambilalihan lahan masyarakat adat,” ucapnya.

Kedua, pengadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat hutan. Ia lantas menyinggung proyek Food Estate yang digadang-gadang pemerintah akan menjadi lumbung makanan terbesar, namun proyek ini justru menuai banyak kritik keras dari masyarakat luas, terutama para pegiat HAM dan lingkungan hidup.

“Dalam persoalan investasi ini, tentu kami mengingatkan sekaligus menegaskan agar pengalaman Aborigin di Australia dan Indian di Amerika soal alienasi masyarakat lokal (adat) tidak terjadi di Papua ataupun daerah lainnya,” jelasnya.

“Lalu ketiga, lemahnya posisi tawar Pemerintah Daerah di hadapan PSN. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bahkan dapat dilangkahi demi mewujudkan PSN, yang secara de facto belum sepenuhnya memberikan manfaat bagi masyarakat adat. Keempat, tidak ada peta jalan yang komprehensif terkait pembangunan masyarakat adat. Kalaupun ada, sifatnya parsial dari kementerian yang berbeda. Hal ini menyebabkan masyarakat adat harus bertahan, survive sendiri. Jika tak mampu, mereka akan kalah dan menjadi penonton di wilayah adatnya,” sambung Pace Jas Merah tersebut.

Berkaca dari hal-hal tersebut, Filep menekankan, seharusnya Pemerintah Pusat tidak membiarkan masyarakat adat sendirian dalam mencari keadilan. Pasalnya, regulasi terkait investasi seperti lahirnya UU Cipta Kerja terkesan lebih mengakomodir investasi, terutama atas nama PSN.

“Atas masalah ini, saya berharap dalam jangka pendek, Menteri ATR, Menteri Investasi, segara membentuk tim-tim ad hoc yang bisa menyelesaikan persoalan ini. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di seluruh Papua harus peduli dan proaktif pada persoalan yang dihadapi masyarakat adat ini. Bagaimanapun juga, Pemerintah Daerah-lah entitas pertama yang mengetahui keberadaan masyarakat adat. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah harus bertanggung jawab atas persoalan ini,” pungkasnya.

Populer

Politikus Demokrat Usul Legalisasi Judol Buat Tambah Uang Negara

Senin, 17 Juni 2024 | 18:58

Pengamat: Kembalikan Citra, Hery Gunardi Pantas Dicopot Jadi Dirut BSI

Sabtu, 22 Juni 2024 | 19:46

Preview Belgia Vs Slovakia: Hati-hati Pancingan Emosi

Senin, 17 Juni 2024 | 16:59

Bermain Imbang Tanpa Gol, Laga Prancis Vs Belanda Diwarnai Kontroversi

Sabtu, 22 Juni 2024 | 04:09

Bey Ingatkan Gen Z Tak Jadikan Lansia Tulang Punggung Keluarga

Kamis, 20 Juni 2024 | 06:00

Bey Perintahkan Pemkot Bandung Pulihkan Sungai Citarum

Kamis, 20 Juni 2024 | 03:00

Bey Machmudin Ingatkan Warga Jangan Coba-coba Mengakali PPDB

Selasa, 25 Juni 2024 | 03:45

UPDATE

Ono Surono Resmi Jadi Jagoan Banteng di Pilgub Jabar 2024

Jumat, 28 Juni 2024 | 03:56

Mau Kabur ke Kamboja, Gembong Judi Online Berhasil Diringkus Polisi

Jumat, 28 Juni 2024 | 03:31

Personel Kostrad Borong Hasil Tani Masyarakat di Papua

Jumat, 28 Juni 2024 | 03:13

Terminal LPG Tanjung Sekong Makin “Hijau” Jaga Ketahanan Energi RI

Jumat, 28 Juni 2024 | 02:50

Panja Timah DPR Cari Solusi Atasi Tambang Ilegal di Babel

Jumat, 28 Juni 2024 | 02:30

Cek Stok Beras

Jumat, 28 Juni 2024 | 02:12

IPC TPK Jambi Fasilitasi Pengiriman Pinang Belah ke Bangladesh

Jumat, 28 Juni 2024 | 01:56

26 RUU Tentang Kabupaten/Kota Harus Perhatikan Karakteristik Daerah

Jumat, 28 Juni 2024 | 01:38

Pangdivif 2 Kostrad Terima Brevet Bramasta Yudha

Jumat, 28 Juni 2024 | 01:16

DPR Dukung Program Revitalisasi Laboratorium Badan Karantina

Jumat, 28 Juni 2024 | 00:54

Selengkapnya