Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Tapera: Beban Baru Pekerja dan Potensi Korupsi

OLEH: AMIERUL MUTTAQIEN*
SENIN, 03 JUNI 2024 | 12:05 WIB

SETELAH ramai diperbincangkan di beberapa tahun ke belakang, kini Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) kembali menjadi pembahasan yang santer diperbincangkan oleh publik.

Pasalnya, melalui PP 21/2024 kaitan Perubahan Atas PP 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera semua pekerja dari mulai ASN/TNI/Polri, hingga pekerja BUMN, swasta, dan pekerja mandiri wajib membayarkan iuran sebesar 3 persen dari jumlah gajinya di setiap bulan.

Meskipun dianggap memiliki niat baik, program
ini tentu menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, serikat buruh, dan anggota DPR karena dinilai menjadi beban baru bagi pekerja. Atas hal tersebut, kami Hima Persis menyoroti beberapa hal, diantaranya; beban finansial yang harus ditanggung pekerja, potensi korupsi, serta kurangnya keadilan dalam pelaksanaannya.

ini tentu menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, serikat buruh, dan anggota DPR karena dinilai menjadi beban baru bagi pekerja. Atas hal tersebut, kami Hima Persis menyoroti beberapa hal, diantaranya; beban finansial yang harus ditanggung pekerja, potensi korupsi, serta kurangnya keadilan dalam pelaksanaannya.

Beban Finansial bagi Pekerja

Salah satu kritik utama terhadap Tapera adalah pemotongan gaji pekerja setiap tanggal 10 untuk iuran program ini. Banyak pekerja merasa keberatan dengan kebijakan ini karena menambah beban finansial mereka di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Serikat pekerja menilai pemotongan gaji untuk iuran Tapera sebagai kebijakan yang memberatkan, terutama bagi mereka yang penghasilannya sudah pas-pasan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika per bulan mereka dipaksa iuran sebesar 3 persen (dibayar 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar perusahaan) maka sebetulnya hitungan tersebut tidak logis untuk membeli rumah pada usia pensiun atau PHK.

Secara sederhana, jika rata-rata gaji buruh di
Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan dan selanjutnya dipotong 3 persen setiap bulan, maka iurannya menjadi Rp105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun. Jika dihitung dalam jangka waktu 10-20 tahun, uang yang terkumpul akan mencapai Rp 12.600.000 hingga Rp25.200.000.

Tentunya, dengan harga rumah sederhana yang hari ini menginjak kisaran Rp300-500 juta, maka butuh waktu sekitar 239-396 tahun.

Lahan Subur Potensial Bagi Praktek Korupsi

Meskipun BP Tapera menyampaikan bahwa Tapera ini layaknya sebuah tabungan yang bisa diambil ketika pekerja pensiun atau PHK, lantas mengapa pemerintah tidak memberikan keleluasaan saja kepada para pekerja untuk menabung secara mandiri dan tidak melalui potongan gaji secara langsung pada para pekerja? Karena kami menilai, endapan dana yang dikumpulkan para pekerja di pemerintah ini tentunya sangat rentan
untuk menjadi lahan subur praktik korupsi baru.

Senada dengan yang disampaikan oleh sejumlah anggota DPR, kekhawatiran lain muncul karena kurangnya transparansi dan pengawasan yang ketat dalam pengelolaan dana Tapera.

Selain itu, poin kontroversial lainnya adalah kewajiban bagi pekerja yang sudah memiliki rumah untuk tetap menjadi peserta Tapera. Alasan yang disampaikan pemerintah bahwa partisipasi semua pekerja, termasuk mereka yang sudah memiliki rumah, penting untuk menjaga keberlanjutan program dan solidaritas antar pekerja. Namun, banyak
pekerja melihat ini sebagai kebijakan yang tidak adil.

Mereka merasa tidak lagi membutuhkan bantuan perumahan tetapi tetap harus membayar iuran, yang pada akhirnya menambah beban finansial mereka.

Kesimpulan

Dengan demikian kami berkesimpulan bahwa, secara keseluruhan, Tapera mendapatkan kritik tajam dan penolakan yang cukup banyak dari publik karena dianggap memberatkan pekerja secara finansial, memiliki potensi korupsi yang tinggi, dan kurang
transparan dalam pengelolaannya.

Sehingga kami menilai, meskipun pemerintah berusaha mempertahankan program ini dengan berbagai alasan, namun akan nampak lebih elok dan bijaksana jika kebijakan ini ditunda dan dikaji terlebih dahulu untuk memastikan keadilan dan efektivitasnya untuk para pekerja yang ada di Indonesia.

*Penulis adalah pengurus Bidang Politik dan Kebijakan Publik PP Hima Persis

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya