Berita

Ilustrasi Foto/Net

Bisnis

Program Alkes Indonesia Masuk Jebakan Bank Dunia

JUMAT, 31 MEI 2024 | 23:40 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berusaha agar fasilitas pelayanan rumah sakit dapat memadai bagi seluruh masyarakat di Indonesia.

Sehingga warga yang tinggal di daerah terpencil bisa mendapatkan perlakuan kesehatan yang sama seperti di kota-kota besar.

Untuk memenuhi rencana ini, pemerintah dikabarkan menggandeng Bank Dunia untuk melakukan pinjaman multi years senilai Rp60 triliun sepanjang 5 tahun. Nantinya, dana inilah yang akan digunakan untuk menyamaratakan sistem alat kesehatan (alkes) di seluruh negeri.

Meski begitu, pinjaman ini nyatanya mendapatkan tentangan dari beberapa pihak. Salah satu yang menentang adalah pegiat sosial yang juga merupakan dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando.

Melalui laman CokroTV yang dikutip redaksi Jumat malam (31/5),  dia mengatakan pinjaman Bank Dunia ini akan merugikan bagi masyarakat Indonesia.

"Skema bantuan yang diberikan oleh Bank Dunia sangat mencurigakan dan seolah merampok serta merugikan masyarakat Indonesia," kata Ade.

Ade menjelaskan, dirinya mendapatkan info ini setelah menerima masukan dari Indonesia Procurement Watch (IPW). Dia menyebut tujuan ini sangat mulia namun skema sangat mengherankan.

"Dalam prosesnya Bank Dunia melakukan campur tangan dan meminta pengadaan barang dilakukan secara manual," jelasnya.

Ade menilai apa yang dilakukan Bank Dunia ini tentunya akan merugikan bagi Indonesia. Sebab Sejak 2020 pengadaan barang untuk APBN dan APBD wajib gunakan LPSE atau katalog elektronik (eKatalog).

“Cara ini cukup efektif dimana tinggal pencari barang dan pemenang tender tinggal membuka dan mencari alat yang cocok dan membeli secara online e-katalog berada di bawah LPSE,” bebernya.

Bahkan Ade mengatakan, skema yang diminta Bank Dunia ini merupakan cara lama dan tak lagi digunakan di Indonesia sebab penuh potensi korupsi.

Menurut dia, dengan skema ini peserta tender bisa menawarkan produk tidak melalui elektronik maupun lelang, dengan sendirinya produk yang dibeli tidak harus dalam negeri ini tak pernah terjadi sebelumnya.

"Ini mengherankan kenapa Bank Dunia jadi miliki otoritas bagaimana pengadaan dilakukan. Mekanisme pengadaan dilakukan, bahkan skema pengadaannya terasa aneh dimana peserta harus membeli paket senilai 10 juta USD atau Rp160 miliar. Terlebih Harga paket yang diajukan sangat tinggi dan tak semua penyedia sanggup melakukan hal ini akibatnya hanya perusahaan besar yang bisa memenangkan tender," jelasnya lagi.

Selain skema pinjaman, ada pula kejanggalan lainnya yakni itu sebuah lembaga yakni International Financial Corporation (IFC) yang anak perusahaan Bank Dunia dimana tugasnya adalah melayani sektor privat. Nantinya dilanjutkan Ade, IFC akan meminjamkan dana ke perusahaan yang mengikuti proses tender alkes tersebut.

"Dengan hal ini perusahaan akan membayar pinjaman beserta bunga ke IFC.  Lalu pemerintah juga membayar pinjaman ke Bank Dunia untuk pengadaan alkes. Sehingga dengan proses seperti ini harga alkes bisa mahal berkali lipat," tegasnya.

Dilanjutkan Ade, dalam program penyamarataan alkes ini belum tentu setiap rumah sakit sudah melengkapi diri dengan fasilitas pelayanan yang masuk dalam skema pinjaman bank dunia ini.

"Misal RS di timur setelah menjalani program penyiapan diri baru bisa Menjalankan program CT SCAN dan MRI pada 2027. Sialnya pinjaman dilakukan 2024 pemerintah harus membayar pinjaman dan bunga pada 2025 padahal pembelian 2027 maka pertanyaan kenapa skema lima tahun dan tidak tahun per tahun apalagi perkembangan teknologi kesehatan terus berubah misal CT scan yang diedarkan pada 2027 pasti akan lebih banyak kemajuan dibanding CT scan dari 2024," terangnya.

Dirinya menyebut, pemerintah bisa melakukan penyamarataan alkes ini  dengan hanya mengandalkan APBN tanpa harus meminjam ke Bank Dunia padahal anggaran kesehatan  2024 mencapai Rp184 triliun.

"Intinya ini sangat mengherankan dan mengkhawatirkan. Proyek alkes ini jelas menguntungkan Bank Dunia dan IFC karena tak ada kewajiban penggunaan tender elektronik dan katalog maka perusahaan penyedia dikhawatirkan akan membeli produk impor lebih parahnya perusahaan pemenang tender akan membeli produk luar negeri yang kadaluarsa lebih murah dan tertinggal," tutup ade.

Populer

Jokowi Kumpulkan Kapolda Hingga Kapolres Jelang Apel Akbar Pasukan Berani Mati, Ada Apa?

Kamis, 12 September 2024 | 11:08

Diamnya 4 Institusi Negara Jadi Tanda Akun Fufufafa Milik Gibran

Minggu, 15 September 2024 | 08:14

KPK Ngawur Sebut Tiket Jet Pribadi Kaesang Rp90 Juta

Rabu, 18 September 2024 | 14:21

Kaesang Kucing-kucingan Pulang ke Indonesia Naik Singapore Airlines

Rabu, 18 September 2024 | 16:24

Fufufafa Diduga Hina Nabi Muhammad, Pegiat Medsos: Orang Ini Pikirannya Kosong

Rabu, 18 September 2024 | 14:02

Petunjuk Fufufafa Mengarah ke Gibran Makin Bertebaran

Kamis, 12 September 2024 | 19:48

KAHMI Kumpulan Intelektual Banci?

Sabtu, 14 September 2024 | 14:45

UPDATE

Bareskrim Masih Analisis dan Evaluasi Dugaan Pelanggaran di PON XXI

Sabtu, 21 September 2024 | 03:59

Indonesia dan Jerman Berkolaborasi Hadapi Perubahan Iklim dan Krisis Keanekaragaman Hayati

Sabtu, 21 September 2024 | 03:45

Elektabilitas Dedi-Erwan Capai 77 Persen, MQ Iswara: Alhamdulillah

Sabtu, 21 September 2024 | 03:23

PBB Pastikan Suara Ledakan di Kantor DPP Bukan Teror Bom

Sabtu, 21 September 2024 | 02:58

Baru Bergerak Seminggu Elektabilitas Risma Naik Signifikan

Sabtu, 21 September 2024 | 02:29

Tembus Semifinal China Open 2024, Fikri/Daniel Akui Terlambat Panas

Sabtu, 21 September 2024 | 01:59

Ada Sule dan Iwan Bule dalam Tim Pemenangan Dedi-Erwan

Sabtu, 21 September 2024 | 01:41

Seluruh Venue PON XXI Harus Diaudit Investigasi

Sabtu, 21 September 2024 | 01:19

Polisi Ringkus Sindikat Spesialis Rampok Toko di Jaktim

Sabtu, 21 September 2024 | 00:59

Bertemu dengan Presiden Marcos Jr, Prabowo Akui Filipina Mitra Strategis Indonesia

Sabtu, 21 September 2024 | 00:42

Selengkapnya