Hebohnya terkait Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra dalam penerapan Kurikulum Merdeka 2024 memantik banyak tanggapan. Selain buku panduan tersebut menuai berbagai kritik karena disusun terkesan asal-asalan, pada buku panduan tersebut sejatinya pemerintah memberikan kebebasan kepada pemangku kepentingan di daerah untuk memprioritaskan bahan bacaan bermuatan lokal.
“Saya sudah baca buku panduan setebal 784 halaman itu terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan,” kata Yulhasni, seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOLSumut, Kamis (30/5).
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini menjelaskan pada bagian “Cara Penggunaan Buku Sastra”, khususnya rekomendasi buku sastra untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), penyusun buku panduan tidak melihat apakah buku tersebut layak dikonsumsi anak SD atau tidak. Yulhasni yang juga dikenal sebagai pengarang cerita anak di Sumatera Utara ini mencontohkan buku berjudul Kopral Jono karya Agnes Bemoe.
“Dalam buku tersebut seekor anjing ditulis bernama Jono. Ini kan bisa jadi bahan perundungan nanti bagi anak-anak yang bernama Jono,” ujar pemenang sayembara cerita anak Balai Bahasa Sumut ini.
Selain itu, Yulhasni juga menyoroti kesalahan menggunakan referensi sejarah tim penyusun buku. Misalnya, kata Yulhasni, pada halaman 192 yang menjelaskan buku tentang Amir Hamzah, di situ disebutkan penyair ini meninggal karena Revolusi Langkat.
“Setahu saya tidak pernah ada istilah Revolusi Langkat. Yang ada itu Revolusi Sosial,” papar Yulhasni.
Pada bagian lain, kata Yulhasni, rekomendasi buku sastra untuk tingkat SLTA mestinya tidak pas memasukkan buku karya Faisal Oddang berjudul “Puya ke Puya”. Menurutnya agak aneh karena pada bagian Penafian/Disclaimer secara umum sudah disebutkan pada itu tertulis meski bukan sebagai cerita pokok (hanya sebagai latar) ada unsur kekerasan seksual pada anak kecil dan LGBT, penggambaran adegan seksual, sekaligus kekerasan seksual pada beberapa lembar dalam novel ini.
“Padahal kita sudah sangat menentang seksualitas dan LGBT di tanah air,” kata penulis kumpulan cerpen Bunga Layu di Bandar Baru ini.
Bahkan pada beberapa bagian, tim penyusun buku ini dinilai tidak cermat perihal biodata pengarang. Yulhasni menyebut nama sosok penyair Sapardi Djoko Damono yang mestinya disebutkan sudah meninggal. Tetapi dalam teks buku seakan-akan penyair tersebut masih hidup dengan teks tertulis, saat ini, dia telah pensiun sebagai guru besar dari Universitas Indonesia sejak tahun 2005, dan tetap menjadi guru besar di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sejak tahun 2009.
“Itu belum termasuk banyaknya kesalahan pengetikan di buku ini. Muhammadiyah ditulis Muhammadiyyah,” terang Yulhasni.
Yulhasni juga menyayangkan tim penyusun tidak melihat kualitas karya cerita anak yang telah digagas Badan Bahasa di berbagai provinsi di Indonesia sebagai rujukan bahan ajar untuk siswa SD.
“Kita tahu, misalnya, Badan Bahasa Sumut telah melahirkan puluhan buku cerita anak dengan tematik yang beragam. Tema-temanya sangat pas dibaca siswa SD,” demikian kata Yulhasni.