Perdebatan mengenai risiko produk rokok elektrik dan produk alternatif lainnya, nyatanya bukan hanya disoal pakar kesehatan di Indonesia.
Perdebatan itu juga dibahas oleh ahli kesehatan internasional pada forum "No Smoke, Less Harm" di Stockholm, Swedia.
Pakar nikotin dan kesehatan publik, Karl Fagerstrom, menyampaikan Swedia adalah salah satu contoh sukses penerapan produk alternatif tembakau sebagai bagian kampanye berhenti merokok.
Dia mengatakan, perbedaan antara rokok dan penggunaan produk tanpa asap sangat penting. Meskipun nikotin bersifat adiktif, tetapi tidak menyebabkan penyakit serius yang berhubungan dengan merokok.
"Temuan kami mendukung pergeseran fokus dari stop nikotin total menjadi beralih dengan alternatif yang tidak terlalu berbahaya bagi mereka yang tidak dapat berhenti sepenuhnya," kata Karl Fagerström.
Karl menjelaskan bahwa Swedia adalah contoh terbaik ketika produk tembakau tanpa asap diberikan ruang. Meskipun konsumsi nikotin di Swedia dan negara-negara Eropa lain secara rata-rata hampir sama, tetapi tingkat kanker paru-paru Swedia jauh lebih rendah sebesar 41 persen dan kematian akibat tembakau lebih sedikit.
Karl menilai hal ini terjadi karena produk nikotin yang digunakan oleh warga Swedia merupakan produk alternatif tembakau seperti kantung nikotin atau rokok elektrik.
“Pengalaman di Swedia menunjukkan bahwa mengatasi misinformasi tentang nikotin di masyarakat dapat menghasilkan kebijakan kesehatan yang lebih melindungi masyarakat,” katanya.
Pandangan Karl, disambut baik pakar kesehatan publik drg. Laifa Annisa. Dia pun menyarankan Pemerintah Indonesia untuk meniru langkah tersebut, dalam menangani kecanduan rokok.
Dia memberikan contoh Belanda, di mana pemerintah memanfaatkan berbagai medium untuk membantu penyembuhan kecanduan, termasuk menggunakan produk alternatif sebagai instrumen.
"Saya tahu di Belanda mereka punya klinik untuk mengatasi kecanduan, salah satunya untuk rokok. Jadi memang ada klinik khusus
smoking cessation (upaya berhenti merokok) yang terprogram," kata Laifa dalam keterangan tertulis, Jumat (24/5).
Menurut Laifa, pendekatan ini dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia, terutama dalam menciptakan program yang terstruktur menggunakan produk alternatif tembakau untuk mengurangi angka perokok dewasa.
Walau demikian, katanya, masih ada tantangan bagi masyarakat yang merokok. Sebuah riset terbaru dari IPSOS (2023) menunjukkan bahwa sekitar 70 persen perokok Indonesia menganggap vape (salah satu produk alternatif tembakau) sama atau lebih berbahaya daripada rokok konvensional.
"Anggapan ini tentu perlu diluruskan apabila Indonesia ingin belajar dari negara lain untuk menurunkan angka prevalensi perokok di dalam negeri," pungkasnya.