Berita

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti/Net

Politik

LaNyalla: Sistem Demokrasi Liberal Merusak Kohesi Bangsa

SENIN, 22 APRIL 2024 | 05:39 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila usai adanya perubahan sistematis dalam UUD 1945 tahun 1999-2002. Alhasil proses amandemen itu tak ubahnya sebagai bentuk penggantian terhadap UUD 1945 produk pendiri bangsa.

Akibatnya krisis multidimensi semakin meningkat, diiringi dengan maraknya paham liberalisme dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengajak seluruh komponen bangsa untuk merenung dan menekankan pentingnya kembali kepada UUD 1945 naskah asli.

“Bangsa dan negara ini sejatinya dibangun melalui konsensus. Dan perubahan itu bisa berlangsung damai atas dorongan masyarakat dan kesepakatan elite. Karena itu yang terpenting adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa sistem demokrasi liberal yang diterapkan Indonesia sejak era Reformasi tidak cocok untuk negara kepulauan dan super majemuk seperti Indonesia ini,” kata LaNyalla kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu malam (21/4).

Menurut dia, kondisi ini merupakan ancaman serius bagi kesinambungan NKRI yang berlandaskan Pancasila. Praktik demokrasi liberal yang salah satunya ditandai dengan sistem pemilihan presiden langsung bisa berdampak pada persatuan bangsa.

“Ini penting saya sampaikan. Salah satu ancaman serius terhadap Kebhinekaan Indonesia adalah rusaknya kohesi bangsa akibat sistem pilpres langsung. Dimana Calon presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih adalah pilihan ketua umum partai politik. Itu pun masih diberi hambatan Presidential Threshold 20 persen. Sehingga partai kecil harus melakukan koalisi yang terpaksa, untuk dapat mengusung calon presiden. Begitu pula dengan pemilihan gubernur dan bupati atau walikota secara langsung. Sama prinsipnya,” jelas dia.

Mantan Ketua Umum PSSI itu menyatakan sistem pemilihan presiden, gubernur, bupati atau walikota yang dilakukan secara langsung ditentukan oleh popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas. Padahal, lanjut dia, ketiga variabel tersebut dapat dibentuk atau difabrikasi melalui media dan teori-teori komunikasi dengan biaya yang mahal.

“Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin populer nama calon tersebut. Karena setiap hari, wajahnya akan menghiasi media massa besar melalui kegiatan-kegiatan yang dibuat. Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin tinggi elektabilitas nama calon tersebut karena dirilis oleh lembaga-lembaga survei ternama dengan angka-angka yang kita tidak tahu bagaimana dihasilkan,” bebernya.

“Semua informasi tersebut diresonansikan oleh buzzer-buzzer di media sosial dengan narasi-narasi yang berisi puja dan puji. Sementara di satu sisi, ada pula narasi-narasi menghujat dan menjelek-jelekkan calon yang lain. Sehingga tercipta julukan olok-olok yang masih berlangsung hingga hari ini. Sehingga semakin tajam dan kuat jurang pemisah antar kelompok masyarakat,” tambah dia.

LaNyalla menyebut ini dampak dari pilpres langsung yang diadopsi begitu saja dari sistem barat. Aakhirnya melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa.

“Padahal sudah berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menggunakan sistem perwakilan dalam memilih ketuanya. Tetapi mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung?” tegasnya.

“Saya yakin, jika rakyat Indonesia ditanya dengan pertanyaan; manakah yang Anda pilih, hidup dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebersamaan, atau hidup dengan nilai-nilai barat yang individualistik, liberal dan kapitalistik; saya yakin rakyat Indonesia akan memilih hidup di dalam naungan Pancasila,” pungkas LaNyalla.

Populer

KPK Usut Keterlibatan Rachland Nashidik dalam Kasus Suap MA

Jumat, 25 Oktober 2024 | 23:11

Pemuda Katolik Tolak Program Transmigrasi di Papua

Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:45

Akbar Faizal Sindir Makelar Kasus: Nikmati Breakfast Sebelum Namamu Muncul ke Publik

Senin, 28 Oktober 2024 | 07:30

Pilkada Jateng dan Sumut Memanas Buntut Perseteruan PDIP Vs Jokowi

Minggu, 03 November 2024 | 13:16

Ketum PITI Sayangkan Haikal Hasan Bikin Gaduh soal Kewajiban Sertifikasi Halal

Kamis, 31 Oktober 2024 | 20:01

Inilah Susunan Dewan Komisaris IPC TPK Baru

Jumat, 01 November 2024 | 01:59

Komandan IRGC: Serangan Balasan Iran Melampaui Ekspektasi Israel

Jumat, 01 November 2024 | 12:04

UPDATE

3 Komisioner Bawaslu Kota Blitar Dilaporkan ke DKPP

Selasa, 05 November 2024 | 03:58

Menteri Hukum Tegaskan Jakarta Masih Ibukota Negara

Selasa, 05 November 2024 | 03:40

Catalunya Gantikan Valencia Gelar Seri Pamungkas MotoGP 2024

Selasa, 05 November 2024 | 03:22

Demokrat Bentuk Satgas untuk Amankan Pilkada di Jakarta, Jabar, hingga Banten

Selasa, 05 November 2024 | 02:57

MAKI: Debat Harusnya untuk Jual Program, Bukan Saling Menyerang

Selasa, 05 November 2024 | 02:22

Dubes Mohamed Trabelsi: Hatem El Mekki Bukti Kedekatan Hubungan Indonesia dan Tunisia

Selasa, 05 November 2024 | 02:09

Polisi Gelar Makan Siang Gratis untuk Siswa Berkebutuhan Khusus

Selasa, 05 November 2024 | 01:54

Ancelotti Minta LaLiga Dihentikan

Selasa, 05 November 2024 | 01:36

Pelajar yang Hanyut di Sungai Citanduy Ditemukan Warga Tersangkut di Batu

Selasa, 05 November 2024 | 01:21

Pendidikan Berkualitas Kunci Pengentasan Kemiskinan

Selasa, 05 November 2024 | 00:59

Selengkapnya