Banyaknya pengajuan dokumen amicus curiae oleh para akademisi dan tokoh politik menjelang Mahkamah Konstitusi (MK) memutus sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024 menuai pro dan kontra.
Padahal, kata Wakil Sekretaris Bidang Hankam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) M. Nur Latuconsina penggunaan istilah amicus curiae tidak ditemukan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 24/2003 tentang MK terkait penanganan Pilpres.
"Istilah amicus curiae dalam proses sengketa pilpres tidak diatur dalam UU Pemilu maupun UU MK," kata Rheno sapaan sapaan karibnya kepada wartawan, Kamis (18/4).
Rheno memaparkan, secara eksplisit beleid memutus proses sengketa perselisihan hasil pilpres telah ditentukan secara limitatif dalam pasal 45 UU MK.
Bahkan terhadap rumusan pertimbangan putusan mesti didasarkan pada alat bukti yang diajukan dalam persidangan sebagaimana yang tertera dalam pasal 36, Pasal 37 dan pasal 45 ayat (1) UU MK.
"Sehingga tertutup ruang untuk menafsirkan diluar ketentuan UU," tuturnya.
Dia menekankan, MK tidak dapat memutus suatu perkara konstitusi berdasarkan opini dalam kerangka dokumen amicus curiae.
Menurutnya, penggunaan pranata hukum amicus curiae di penghujung sidang sesungguhnya menyandera independensi dan kemandirian majelis hakim MK yang tengah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dalam pengambilan keputusan.
Ia menjelaskan lebih lanjut, walaupun kepaniteraan MK telah menerima dokumen amicus curiae, mestinya tidak dapat menjadi instrumen/sarana yang mempengaruhi putusan MK pada tanggal 22 April 2024 mendatang.
"Hemat saya, menggunakan amicus curiae untuk mempengaruhi putusan MK tentu menciderai independensi kelembagaan," pungkasnya.