Berita

Ilustasi Bank of Jiujiang

Bisnis

Ratusan Bank di Tiongkok Sudah Jadi Bom Waktu

SENIN, 08 APRIL 2024 | 01:18 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Perekonomian Tiongkok dilaporkan sedang tidak baik-baik saja. Sektor perbankan mengalami persoalan yang sangat signifikan terkait meningkatnya rasio utang buruk.

Financial Post baru-baru ini melaporkan situasi yang dihadapi salah satu bank Tiongkok. Menurut laporan itu, Bank Jiujiang yang merupakan spesialis pinjaman tingkat menengah dari selatan Tiongkok, pada 19 Maret lalu mengungkapkan bahwa dividen pendukung keuangan untuk tahun 2023 turun sebesar 30 persen, karena kinerja kredit yang tidak efektif.

Disebutkan bahwa Bank Jiujiang hanya satu dari ratusan bank yang beroperasi di Tiongkok yang mengalami hal serupa.


Dengan melonjaknya rasio utang buruk Tiongkok, ratusan bank telah menjadi bom waktu. Hal ini dapat menyebabkan masalah serius bagi Tiongkok dalam bidang keuangan. Ketika perekonomian Tiongkok memburuk, sektor perbankan negara tersebut menghadapi krisis yang semakin besar.

Dalam laporan itu juga disebutkan, kredit macet telah melonjak di ratusan bank di Tiongkok. Contoh utama dari tren yang meresahkan ini adalah Bank Jiujiang yang berlokasi di provinsi Jiangxi. Bank baru-baru ini merilis perkiraan kinerja yang memperkirakan penurunan laba bersih sebesar 30% untuk tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.

Laporan media Tiongkok mengungkapkan bahwa rasio kredit bermasalah bank Jiujiang telah meningkat selama dua tahun berturut-turut melebihi 2 persen pada kuartal ketiga tahun lalu. Sementara rasio cakupan pencadangannya telah menurun.

Menurut data perusahaan pada September 2022, saldo kredit bermasalah bank mencapai 6,86 miliar Yuan atau setara 9.665 juta dolar AS, dengan rasio kredit bermasalah sebesar 2,27 persen dan rasio cakupan pencadangan sebesar 133,63 persen.

The Economist melaporkan bahwa pengungkapan perkiraan penurunan laba oleh Bank Jiujiang karena kinerja pinjaman yang buruk adalah tindakan yang tidak biasa.

Para ahli dari sekolah bisnis Universitas Nasional Singapura dan Universitas Renmin Tiongkok memperingatkan bahwa kredit macet ini akan terus terakumulasi dan menimbulkan ancaman signifikan bagi ratusan Bank Tiongkok.

Kredit macet Bank Jiujiang, misalnya, telah meningkat tujuh kali lipat antara tahun 2015 dan akhir tahun 2022. Peningkatan kredit bermasalah tidak hanya terjadi di bank Jiujiang. Pada bulan Desember 2022 Bank CITIC Tiongkok dan Bank Pertanian Tiongkok didenda 220 juta Yuan sekitar 33,84 juta dolar AS.

Peningkatan kredit bermasalah ini melemahkan neraca lembaga keuangan sehingga lebih sulit bagi pemerintah Partai Komunis Tiongkok untuk memberikan dukungan fiskal langsung kepada Industri yang diunggulkan. Untuk mengatasi masalah utang macet, Partai Komunis Tiongkok mendirikan AMC yang dikendalikan secara terpusat beberapa dekade yang lalu.

Pada tahun 2016, Assets Management Company (AMC) milik negara membeli hampir 1 triliun Yuan, sekitar 157 miliar dolar AS. Berdasarkan nilai tukar saat ini, kredit macet mencapai total 1,5 triliun Yuan, sekitar 226 miliar dolar AS, dalam bentuk kredit bermasalah.

Namun, pada tahun 2022 mereka hanya memperoleh kurang dari 50 miliar Yuan utang macet, yaitu 7,8 miliar dolar AS, berdasarkan nilai tukar saat ini, sedangkan skala kredit bermasalah melonjak hingga hampir 3 triliun Yuan (sekitar 470 miliar dolar AS). Rencana penggabungan 3 AMC dengan dana kekayaan Partai Komunis Tiongkok seperti yang dilaporkan oleh media pemerintah pada bulan Januari 2023 menggarisbawahi kesulitan keuangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga ini.

Tiongkok sedang bergulat dengan beban utang yang sangat besar, yang merupakan ancaman besar bagi perekonomiannya. Rasio utang terhadap PDB negara ini mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu 288% pada tahun 2023, melampaui sebagian besar negara maju.

Tumpukan utang yang tidak berkelanjutan ini berasal dari permasalahan real estat, pembangunan yang berlebihan, jatuhnya harga, dan gagal bayar oleh peminjam Tiongkok. Berbeda dengan negara-negara lain, utang Tiongkok telah melonjak pesat dibandingkan dengan ukuran perekonomiannya, sehingga sulit untuk dikelola.

Ketika krisis semakin parah, keseimbangan antara menangani pinjaman luar negeri dan mengelola utang dalam negeri masih dalam kondisi sulit. Stabilitas keuangan negara ini berada dalam bahaya dan tindakan tegas sangat penting.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya