Berita

Ilustrasi

Dunia

Eropa Mulai Tinggalkan Tiongkok yang Agresif

SELASA, 02 APRIL 2024 | 05:12 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Negara-negara di Eropa tampaknya sedang mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan Tiongkok yang dinilai terlalu obsesif serta mendominasi politik internasional dan rantai pasokan global.

Kelesuan kinerja Belt Road Initiative (BRI) di Eropa pasca Covid-19, praktik perdagangan yang tidak adil, ancaman keamanan, dan kekhawatiran dumping kendaraan listrik merupakan beberapa di antara alasan utama bagi blok Eropa untuk merumuskan kembali kebijakannya dengan Beijing.

Tahun lau, misalnya, Italia mengakhiri hubungan dengan Tiongkok karena praktik perdagangan yang tidak adil.


“Tiongkok adalah salah satu pesaing kami. Kami ingin hubungan baik, tapi aturannya harus sama untuk semua orang,” kata Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani.

“Oleh karena itu, kami menolak dumping sosial dan lingkungan, persaingan tidak sehat, dan pencurian pengetahuan,” ujarnya.

Uni Eropa juga menyatakan keprihatinan atas praktik perdagangan tidak adil yang diterapkan oleh Tiongkok, khususnya dalam konteks industri kendaraan listrik.

Banyak negara Eropa menjauhkan diri dari Tiongkok, kata pakar urusan luar negeri Emanuele Skimia. “Tampaknya Tiongkok kehilangan kapasitas untuk mempengaruhi Eropa,” katanya.

Beberapa negara di Eropa Tengah dan Timur telah kehilangan kepercayaan pada Tiongkok karena dominasi ekonomi dan sikap Beijing dalam konflik Ukraina, ujar  peneliti senior di Pusat Studi Timur Polandia, Jakub Jakobowski.

“Sebagian besar negara di kawasan ini memiliki alergi yang kuat terhadap sistem Partai Komunis dan mempunyai firasat buruk terhadap sistem politik Tiongkok. Tren kawasan yang menjauhkan diri dari Tiongkok tidak akan berhenti,” ujarnya seperti dikutip dari sebuah artikel yang dipublikasikan The Singapore Post.

Sejumlah pengamat dan politisi di Inggris telah menyampaikan kekhawatiran pada  Tiongkok sejak tahun 2020 setelah Tiongkok mendorong seluruh dunia ke dalam cengkeraman pandemi Covid dan ancaman keamanan yang timbul dari perangkat keras yang dipasok Inggris.

“Daripada hanya bergantung pada ekonomi Tiongkok, kita harus memimpin pembentukan koalisi global baru yang menghargai kebebasan, demokrasi, dan akuntabilitas,” kata konsultan politik Tom Pridham yang berbasis di London.

Anggota parlemen di Inggris kini telah meminta pemerintah untuk memikirkan kembali hubungan dengan Tiongkok. Mereka mengatakan sudah waktunya untuk mengakui Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai ancaman bagi negara.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyatakan “keprihatinan yang sangat kuat” mengenai campur tangan Tiongkok dalam demokrasi parlementer di negaranya, yang jelas tidak dapat diterima. Hal itu disampaikannya ketika bertemu dengan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang beberapa bulan lalu.

Kebijakan baru mengenai Tiongkok juag diadopsi oleh Jerman yang tidak lagi menganggap Tiongkok sebagai mitra utama dalam urusan bisnis.

“Aturan permainan baru di kementerian-kementerian pemerintah dan kanselir di Berlin adalah melihat Tiongkok sebagai saingan, sehingga semakin perlu untuk menyatakan “tidak” secara tegas sehubungan dengan proyek-proyek investasi tertentu di sektor industri dan jasa tertentu,” kata Jens Bastian, peneliti di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman.

Kebijakan terbaru ini adalah akhir dari ilusi Jerman terhadap Tiongkok, kata Janka Oertel, direktur Program Asia di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR).

Pendekatan baru Jerman dapat membantu negara-negara Eropa lainnya menghadapi risiko yang terkait dengan perdagangan dan hubungan diplomatik dengan Tiongkok

“Strategi Berlin menyoroti perlunya negara-negara UE untuk merumuskan kembali hubungan bilateral mereka dengan Beijing,” kata Alicja Bachulska, peneliti kebijakan di ECFR.

Sebelumnya, banyak negara Eropa menunjukkan kemarahan mereka atas taktik perdagangan yang memaksa dan laporan pengawasan melalui perangkat telekomunikasi oleh Tiongkok. Kini, mereka khawatir akan kerugian pada industri otomotif lokal akibat murahnya kendaraan listrik Tiongkok.

Oleh karena itu, UE memerintahkan penyelidikan atas praktik perdagangan yang tidak adil tersebut. Hal ini menyebabkan penurunan impor mobil Tiongkok ke Eropa.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya