Berita

Tim Hukum Prabowo-Gibran/RMOL

Politik

Tim Hukum Prabowo Pertanyakan Dalil Hukum Pencalonan Gibran Melanggar Konstitusi

SENIN, 01 APRIL 2024 | 13:36 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Dalil hukum mengenai pencalonan Gibran Rakabuming Raka melanggar konstitusi, dipertanyakan Tim Hukum Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra merespon dalil yang disampaikan saksi ahli yang dihadirkan pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yakni pakar hukum pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya.

Yusril melayangkan dua pertanyaan kepada Bambang, untuk memperjelas kedudukan perkara yang disoal mengenai keputusan KPU menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres adalah pelanggaran konstitusi.

"Apakah saudara ahli tahu dan dapat membedakan antara sengketa proses dan sengketa hasil dalam pemilu? Apakah proses pencalonan itu termasuk sengketa hasil atau sengketa proses?" kata Yusril dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024, di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (1/4).

"Jika penyelenggara negara itu tahu bahwa ada norma hukum yang lebih tinggi yang mengatur sesuatu, tapi ada juga norma hukum yang lebih rendah dan peraturan lebih rendah itu bertentangan dari yang lebih tinggi, dan yang lebih rendah itu secara formal masih berlaku, apa yang harus dia (KPU) lakukan jika dihadapkan situasi seperti itu?" sambungnya menyampaikan pertanyaan kedua.

Dalam jawabannya, Bambang pertama-tama menjelaskan soal kedudukan norma hukum yang saling bertentangan. Di mana, dia menyebutkan prinsip penyesuaian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap norma hukum di tingkat atasnya apabila terjadi perubahan.

"Seharusnya norma yang lebih rendah menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi. Persoalannya adalah, kerangka hukum pemilu itu tidak cuma undang-undang, tapi juga Peraturan KPU. Dipertegas dalam Pasal 75 UU Pemilu, bahwa untuk melaksanakan Pemilu KPU harus membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU," urai Bambang.

"Peraturan itu sebagaimana dimaksud adalah pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam catatan ini, maka seharusnya KPU segera mengubah PKPU 19/2023, dan kemudian segera meminta kepada DPR dan pemerintah untuk mengadakan Rapat Dengar Pendapat. Karena itu adalah diamanatkan oleh UU 7/2017 Pasal 75 ayat 4," tambahnya menjelaskan.

Sementara, menjawab pertanyaan kedua Yusril, Bambang menegaskan soal definisi sengketa proses pemilu dengan sengketa hasil pemilu, yang pada intinya berbicara soal lembaga yang berwenang menjalani langkah hukum dari dua jenis sengketa tersebut.

"Berkaitan dengan sengketa proses dan sengketa hasil. Sengketa proses adalah sengketa yang diajukan dalam proses pemilu, dan ini kewenangan dari Bawaslu. Dan sengketa hasil adalah terhadap hasil pemilu yang menjadi kewenangan MK," demikian Bambang menambahkan.

Dalam pemaparannya, Bambang mendalilkan azas pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia (jurdil luber) tidak diberlakukan KPU dalam proses pencalonan Gibran. Menurutnya, hal itu terbukti karena KPU tidak mengubah syarat batas usia capres-cawapres sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Karena ada kebenaran yang tidak disampaikan (KPU) dalam proses verifikasi itu, yaitu Peraturan KPU 19/2023 belum diubah (menyesuaikan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023). Sehingga, ketika itu dijadikan dasar (pencalonan Gibran) maka putusan itu sudah tidak jujur, tidak sesuai dengan faktanya," tutur Bambang.

Bambang menyebutkan, secara kronologis pendaftaran Gibran dilakukan sebelum PKPU 19/2023 diubah untuk menyesuaikan dengan putusan MK tersebut yang keluar pada 16 Oktober, yaitu sebelum masa pendaftaran bakal capres-cawapres pada 19 hingga 25 Oktober 2023.

Bambang mendapati KPU baru mengubah PKPU 19/2023 menjadi PKPU 23/2023 melewati masa pendaftaran yaitu pada 3 November 2023. Sehingga, syarat pendaftaran bakal capres-cawapres boleh di bawah 40 tahun apabila sedang atau pernah menjabat sebagai kepala atau wakil kepala daerah, tidak bisa diterapkan surut.

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

Kejanggalan LHKPN Wakil DPRD Langkat Dilapor ke KPK

Minggu, 23 Februari 2025 | 21:23

Jumhur Hidayat Apresiasi Prabowo Subianto Naikkan Upah di 2025

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:56

Indeks Korupsi Pakistan Merosot Kelemahan Hampir di Semua Sektor

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:44

Beban Kerja Picu Aksi Anggota KPU Medan Umbar Kalimat Pembunuhan

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:10

Wamenag Minta PUI Inisiasi Silaturahmi Akbar Ormas Islam

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:08

Bawaslu Sumut Dorong Transparansi Layanan Informasi Publik

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:52

Empat Negara Utama Alami Krisis Demografi, Pergeseran ke Belahan Selatan Dunia, India Paling Siap

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:46

Galon Polikarbonat Bisa Sebabkan Kanker? Simak Faktanya

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:34

Indra Gunawan Purba: RUU KUHAP Perlu Dievaluasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:31

Kolaborasi Kunci Keberhasilan Genjot Perekonomian Koperasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:13

Selengkapnya