PASAL 24C ayat (1) dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat satu naskah menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Ayat (2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden menurut UUD.
Ketentuan tersebut di atas mempunyai implikasi bahwa paslon Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin melalui kuasa hukum sama sekali tidak mempunyai dasar hukum untuk menuntut dugaan pelanggaran Undang-undang (UU) Pemilu 7/2017, UU lainnya, dan/atau UUD 1945 oleh Presiden Joko Widodo, karena hanya lembaga tinggi DPR saja, yang mempunyai legalitas untuk meminta MK memutuskan dugaan pelanggaran, yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Para akademisi, sukarelawan paslon, aktivis senior Petisi 100, parlemen jalanan, atau siapa pun dari para orator berbagai organisasi yang berada di luar lembaga tinggi DPR juga sama sekali tidak mempunyai dasar hukum apa pun untuk menuntut Presiden Joko Widodo kepada MK tentang Presiden diduga telah melanggar berbagai UU dan UUD 1945.
Jadi, sekalipun terjadi banyak sekali parlemen jalanan yang menuntut setiap hari, dan seandainya ricuh pun, agar presiden menyatakan mundur atau dipaksa dimundurkan, maka semua aktivis parlemen jalanan sama sekali tidak mempunyai dasar hukum untuk memberhentikan presiden.
Kalau pun aktivis senior Sri Bintang Pamungkas, atau Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli terlebih dahulu, agar Presiden Joko Widodo dapat setiap saat diberhentikan dalam Sidang Istimewa MPR.
Akan tetapi bukan hanya potensi proses pemberhentian Presiden Joko Widodo dan keputusan untuk mengubah UUD tidak mempunyai waktu yang cukup hingga pelantikan presiden terpilih per 20 Oktober 2024, serta urusan dasar hukum, maupun jika terjadi eskalasi kerusuhan yang dapat membuat Presiden Joko Widodo berpotensi memberlakukan kondisi darurat selama setahun berikutnya.
Implikasinya adalah bukan saja gagasan mengondisikan revolusi sosial, pengadilan rakyat, atau memberlakukan reformasi jilid kedua seperti tragedi Mei 1998, menemui jalan buntu untuk memberhentikan Presiden Joko Widodo secara konstitusional.
Sementara itu celah terburuk dalam mengkondisikan kudeta sipil, atau pun kudeta militer, juga tidak ada satu pun jenderal aktif, atau perwira menengah aktif, yang mempunyai kemampuan berkapasitas sebagai aktor pengkudeta dewasa ini.
Oleh karena itu, penting sekali untuk senantiasa menghormati segala peraturan tata perundang-undangan yang berlaku dan bekerja sama dengan kepala negara dan kepala pemerintahan, guna mewujudkan kesejahteraan umum.
Sementara itu potensi berandai-andai menggunakan kekuatan alam semesta untuk membangkitkan azab bencana alam, sebagaimana periode kepemimpinan Nabi Musa alaihissalam dalam berdakwah terhadap Raja Fir’aun; juga dapat dengan sangat mudah diketahui dan ditangkal oleh para alim ulama, yang dekat dengan Sang Maha Pencipta.
MK berdasarkan UU Pemilu 7/2017 Pasal 473 menyatakan bahwa perselisihan hasil pemilu adalah mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu yang disidangkan oleh MK adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pileg, maupun hasil pilpres.
Sementara itu, UU Pemilu 7/2017 telah mengatur tentang pelanggaran administratif pemilu maupun penyelesaian sengketa proses pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Selain Bawaslu, penyelesaian sengketa proses pemilu juga dapat diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maupun Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu.
Implikasinya adalah persoalan kecurangan yang mempersoalkan dugaan-dugaan politik dinasti, ketidaknetralan aparatur sipil negara, ketidaknetralan TNI/Polri, ketidaknetralan Kepala Desa/Kepala Kelurahan, ketidaknetralan kepala negara dan kepala pemerintahan, politisasi bansos, maupun politik uang bukanlah menjadi ranah kewenangan MK sebagai telah disebutkan di atas, melainkan dipersidangkan oleh Bawaslu sebagai penyelesaian sengketa proses pemilu.
Implikasinya adalah pertama, berbagai isu kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) maupun penyelesaian sengketa proses pemilu bukanlah menjadi kewenangan MK, melainkan Bawaslu, dan/atau PTUN, atau pun Majelis Tata Usaha Negara Pemilu.
Sementara itu KPU telah memperbaiki berbagai isu kecurangan tersebut dalam bentuk penghitungan suara ulang, pemungutan suara ulang, dan penyelenggaraan pemungutan suara ulang per-Tempat Pemungutan Suara (TPS) secara berjenjang.
Implikasi lanjutannya adalah maksud paslon Ganjar-Mahfud (dan Anies-Muhaimin) untuk mendiskualifikasikan paslon Prabowo Gibran melalui mekanisme MK menggunakan isu kecurangan bukanlah merupakan kewenangan MK, melainkan mekanisme Bawaslu.
Dalam hal ini KPU juga telah memperbaiki penyelenggaraan pemilu sebagaimana telah disebutkan di atas per TPS.
Kedua, potensi penyelesaian isu kecurangan pemilu telah diatur dalam UU Pemilu 7/2017, sehingga agenda pengajuan hak angket sebagai penyelesaian politik di atas kertas dapat dipandang tidak relevan untuk menyelesaikan masalah kecurangan pemilu.
Hal itu, karena mekanisme hukum telah diatur dalam UU Pemilu 7/2017 secara jelas. Sementara mekanisme hak angket untuk membuktikan pelanggaran UU dan atau UUD 1945 pun bukanlah sebagai penyelesaian isu yang relevan pada mekanisme pemerintahan transisi, yang segera berakhir pada Oktober 2024.
Ketiga, perbedaan suara hasil Pilpres untuk mengubah Keputusan penetapan pemenang Pilpres amat sangat besar puluhan juta suara, dimana amat sangat sulit menghadirkan semua saksi per TPS sesuai ketentuan pembuktian berdasarkan UU Pemilu 7/2017.
Akibatnya adalah harapan untuk mengubah perolehan suara untuk mengubah penetapan pemenang PIlpres sungguh amat sangat sulit direalisasikan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana