Siapapun yang terpilih jadi Presiden, terpenting adalah penguatan oposisi di parlemen untuk mengawasi pemerintah dari korupsi kekuasaan.
Hal itu disampaikan pengamat politik dari FHISIP Universitas Terbuka Insan Praditya Anugrah menjelang pengumuman KPU.
"Siapapun presiden yang dinyatakan menang oleh KPU, Indonesia butuh oposisi di parlemen yang kuat demi mencegah korupsi kekuasaan terjadi," ujar Insan dalam keterangannya, Senin (18/3).
Menurut Insan, selama ini parpol yang kalah cenderung menghindari oposisi karena tidak ingin kehilangan akses terhadap kekuasaan dan kapital.
"Selama ini, terutama saya amati sejak SBY dilanjutkan Jokowi, sangat sedikit Partai Politik yang memutuskan untuk beroposisi dengan pemerintah dan bertindak mengawasi kekuasaan. Banyak parpol yang takut kehilangan akses kekuasaan dan kapital," jelasnya.
Dalam konteks negara presidensial, memang dibutuhkan partai pendukung pemerintah yang kuat agar pemerintah mudah melaksanakan kebijakan.
Namun, selama ini persentase oposisi terlalu sedikit yakni di bawah 40 persen sehingga kebijakan yang disetujui parlemen hampir seluruhnya memperjuangkan kepentingan pemerintah dapat dilaksanakan.
Hal itu menimbulkan lebih sedikit aspirasi masyarakat terutama kelas Bawah didengar oleh dewan.
"Jika dalam sistem presidensial dibutuhkan koalisi pemerintah yang kuat, boleh saja, namun setidaknya 40-45 persen itu jadi oposisi yang mengawasi pemerintah. Selama ini oposisi lemah karena selalu di bawah 40 persen, dengan komposisi ini seolah parlemen memperjuangkan kepentingan pemerintah dibandingkan aspirasi masyarakat bawah," pungkas pengajar ilmu politik dan pemerintahan di Universitas Terbuka itu.