Kebijakan pelarangan angkutan barang pada setiap momen libur hari-hari besar keagamaan sangat merugikan para pelaku usaha. Sayangnya, pemerintah selama ini tidak pernah mengkaji dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut.
Ekonom dari Universitas Katolik Parahyangan, Aknolt Kristian Pakpahan, menyayangkan munculnya pelarangan tersebut yang muncul dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dirancang oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Korlantas Polri, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Banyak industri yang merasa dirugikan dengan SKB tersebut.
Menurutnya, selama ini belum ada data yang reliabel dalam konteks penelitian atau kajian akademik bagaimana pembatasan angkutan logistik tersebut memberikan dampak terhadap masyarakat dan perekonomian.
“Pemerintah belum pernah mengukur dampak terhadap masyarakat dan pelaku ekonomi. Karena, SKB ini kan terkait dengan berbagai macam sektor, berbagai macam kebutuhan. Jadi, rasanya tidak sesederhana yang dibayangkan,” ujarnya dalam sebuah acara talk show baru-baru ini.
Menurutnya, jika pemerintah memiliki data, itu bisa menjadi pegangan atau catatan dalam melakukan evaluasi apa yang sudah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya sampai akhirnya muncul SKB 2024.
“Data itu kan bisa jadi catatan ketika menyusun SKB tahun berikutnya dengan melihat seperti apa sih dampak ketika misalnya kebijakan ini diterapkan,” tukasnya.
Dia melihat ada dua dampak yang ditimbulkan SKB tersebut, yaitu terhadap konsumen dan perekonomian nasional. Secara sederhana, menurutnya, akan terjadi situasi kelangkaan barang. Apalagi kalau dalam situasi atau masa hari raya, biasanya kebutuhan akan bahan-bahan pokok seperti air minum dalam kemasan (AMDK) meningkat, sehingga pemerintah perlu menyikapi ini.
Di sisi lain, lanjutnya, juga perlu dilihat dampak terhadap produsen atau pelaku ekonominya.
Dia menjelaskan bahwa ada biaya tetap dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Biaya tetap ini, kata Aknolt, bisa dilihat dalam komponen-komponen misalnya produksi, distribusi, dan juga kemudian konsumsi masyarakat. Di mana, SKB pembatasan itu akan memberikan beban tambahan bagi pelaku usaha. Misalnya gaji pegawai atau aktivitas produksi lainnya seperti sewa gudang, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang pabriknya tidak bisa dihentikan aktivitas produksinya.
“Itu kan tidak bisa dihentikan pembayarannya hanya karena adanya pelarangan angkutan logistiknya. Nah, ini yang perlu diperhitungkan juga dalam pembuatan SKB itu,” katanya.
Menurutnya, dalam membuat SKB tersebut, pemerintah juga perlu melihat tren produk-produk apa yang kemudian sekarang menjadi kebutuhan pokok atau memang produk yang diminati di hari-hari besar keagamaan.
“Rasanya AMDK itu sudah menjadi barang yang sangat dibutuhkan dan banyak dikonsumsi masyarakat. Apalagi kualitas air tanah kita sekarang ini kan banyak yang tidak layak minum,” ungkapnya.
Pemerintah, menurutnya, perlu melakukan evaluasi terhadap apa-apa saja yang menjadi pengecualian untuk dilarang dalam SKB terkait pelarangan angkutan logistik.
“Pemerintah rasanya perlu melakukan evaluasi dan jangan kemudian malu atau jangan ragu untuk menambah hal-hal yang memang harus dibebaskan dari pelarangan dalam situasi-situasi seperti Lebaran dan Nataru atau hari raya lainnya,” tandasnya.
Di acara yang sama, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia DKI Jakarta, Adil Karim, juga mengatakan dalam membuat SKB ini pemerintah harus melihat lebih jauh dengan data-data dan harus mengukur bagaimana dampaknya. Menurutnya, hal itu belum dilakukan hingga saat ini.
"Kami sih sebenarnya dari angkutan logistik ini minta ruang secara proporsional saja. Tapi, kalau kita dibatasi dan nggak dikasih ruang, ini akan jadi masalah. Kita nggak bisa menggeser barang, hinterland-nya terganggu,” ungkapnya.
Dampak paling besar dari kebijakan tersebut ke hinterland yang akhirnya berdampak ke industri.
“Kita nggak bisa mengabaikan itu. Karena, yang namanya angkutan logistik ini kan merupakan urat nadi dari kegiatan perekonomian. Kalau aktivitasnya dibatasi, ini multiplier effect-nya kan sangat besar ke perekonomian nasional,” tuturnya.
Dia berharap agar pemerintah juga harus berpihak pada dunia usaha.
“Karena apa pun namanya, dunia usaha ini yang membayar pajak. Kan aneh kalau kita sudah dirugikan karena SKB tersebut, kita harus membayar pajak lagi. Bayangin kalau liburnya sampai 14 hari, kita harus mengeluarkan fixed cost juga,” tandasnya.