Berita

Taliban/Net

Publika

Bernegosiasi dengan Taliban

OLEH: INDRA KUSUMAWARDHANA*
MINGGU, 25 FEBRUARI 2024 | 14:44 WIB

“SAAT ini belum saatnya melakukan pengakuan,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada press briefing di Doha, Qatar, 19 Februari 2024 saat menghadiri undangan Sekjen PBB untuk membahas perkembangan di Afghanistan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling getol memperjuangkan hak asasi manusia di Afghanistan, khususnya pasca pengambilalihan kekuasaan oleh kelompok Taliban pada Agustus 2021. Indonesia secara khusus menaruh perhatian pada nasib kaum perempuan Afghanistan yang di bawah rezim Taliban diperlakukan secara tidak manusiawi.

Pengakuan Internasional


Sejak merebut kekuasaan akibat penarikan pasukan NATO dan AS, Taliban getol menuntut pengakuan dari dunia internasional. Taliban bahkan mengirimkan surat kepada PBB untuk meminta kesempatan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB ke-76 pada 2021 lalu. Pemimpin Taliban memohon kepada negara-negara Islam untuk mengakui pemerintahan mereka. Namun komunitas internasional bergeming. Sekjen PBB Antonio Guterres menegaskan pengakuan mustahil diberikan selama Taliban tidak menghormati HAM khususnya memberi akses terhadap perempuan.

Pengakuan merupakan salah satu syarat sah berdirinya sebuah negara. Menurut Hans Kelsen (1941), pengakuan memiliki dua implikasi. Pertama, pengakuan politik yaitu negara atau pemerintah yang diakui akan menjadi anggota masyarakat internasional dan dapat menjalin hubungan diplomatik secara normal dengan negara-negara lain. Kedua, pengakuan hukum yaitu negara atau pemerintah yang diakui akan menjadi subjek hukum internasional. Ini berarti sebelum diakui, suatu pemerintahan dianggap tidak ada sehingga tidak terkena hak dan kewajiban sesuai hukum internasional.

Dalam hubungan internasional, pengakuan penting karena pemerintahan yang diakui akan membuka akses bagi keterlibatan di institusi-institusi internasional serta menjalin kerja sama saling menguntungkan dengan negara lain. Akibatnya, ketiadaan pengakuan akan membuat suatu pemerintahan terkucil, sulit mengakses sumber daya dari luar negeri sehingga terancam perekonomiannya. Hal ini pada gilirannya akan mendorong krisis dan konflik domestik yang dapat mengundang intervensi asing (Visoka, 2022).

Lebih fundamental lagi, ketiadaan pengakuan menyebabkan suatu pemerintahan kehilangan jati diri sebab identitas hanya eksis apabila diakui. Ini adalah kondisi dimana negara terancam bukan oleh militer negara lain akan tetapi oleh kehampaan jati diri, atau istilahnya ‘keamanan ontologis’ (Mitzen, 2006).

Berdasarkan logika ini, tak mengherankan Taliban menuntut dunia internasional mengakui mereka. Mereka ingin membangun Afghanistan, memulihkan perekonomiannya, dan melangsungkan hubungan internasional secara wajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Mereka ingin diakui seperti PLO sebagai perwakilan resmi Palestina sesuai resolusi Majelis Umum PBB tahun 1974. Namun rupanya jalan Taliban menemui jalan buntu.

Konsesi Bersyarat

Taliban dapat menjebol kebuntuan itu dengan memberikan konsesi kepada dunia internasional. Konsesi ini adalah memungkinkan Afghanistan dibangun di atas prinsip inklusivisme, bukan eksklusivisme ala Islam konservatif yang mereka anut. Konsesi ini pernah mereka janjikan pasca berhasil menguasai Afghanistan. Pimpinan Taliban berjanji tidak akan mendiskriminasi kaum perempuan dan memberikan jaminan atas hak-hak mereka dalam kerangka hukum Islam (BBC, 2021).

Kenyataannya, janji itu mereka langgar. Laporan Human Rights Watch tahun 2023 menunjukkan bukti diskriminasi dan persekusi Taliban terhadap kaum perempuan. Selama dua tahun kekuasaannya, Taliban memberlakukan undang-undang yang mengabaikan hak dasar perempuan dan anak-anak (HRW, 2023). Amnesty International dalam laporannya menyatakan bahwa persekusi perempuan oleh Taliban termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Amnesty International, 2023).

Reputasi buruk Taliban terkait komitmen terhadap HAM membuat komunitas internasional sulit memberikan pengakuan. Bernegosiasi dengan Taliban ibarat “membuat kesepakatan dengan iblis” (pact with the devil). Mereka tidak mau kecolongan apabila pengakuan diberikan terlebih dahulu. Inilah jalan buntu negosiasi antara komunitas internasional dan Taliban. Tidak adanya trust dari dunia internasional menyulitkan proses pencarian kesepakatan.

Kerja sama hanya mungkin apabila kedua pihak saling kompromi. Kompromi artinya masing-masing menurunkan tuntutannya. Skenarionya mungkin berjalan seperti ini. Misalnya saja komunitas internasional melunak dengan memberikan pengakuan terlebih dahulu. Toh dunia internasional bungkam terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak perempuan di banyak negara seperti India, Arab Saudi, Pakistan, Somalia, Brasil, Yaman, Meksiko, dan banyak negara lainnya.

Namun, pengakuan dunia internasional ini diberikan secara bersyarat. Taliban harus mengubah kebijakannya terhadap kaum perempuan sesuai tuntutan internasional. Taliban harus bersedia menerima tim monitoring yang akan memantau kemajuan dari kebijakan tersebut. Apabila dalam kurun waktu tertentu hasil evaluasi menunjukkan stagnasi atau bahkan kemunduran, maka pengakuan bisa ditarik kembali.

Penarikan kembali pengakuan (withdrawal of recognition). Penarikan kembali pengakuan 27 negara atas kemerdekaan Kosovo selama 15 tahun terakhir merupakan preseden. Namun demikian, skenario ini tetap sulit dijalankan apabila dunia internasional terlanjur tidak percaya pada komitmen Taliban. 

*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya