Ilustrasi Deforestasi/Net
Kelompok agama merupakan kelompok terbesar dalam mendorong percepatan upaya pelestarian lingkungan. Karena itu, penggalangan kekuatan serta pengarusutamaan isu lingkungan hidup juga menjadi tanggungjawab tokoh agama.
Demikian salah satu poin yang disampaikan aktivis lingkungan Testriono dalam Diskusi Terarah bertajuk “Religious Environmentalism Action (REACT): Identitas Agama dan Aktivisme Lingkungan: Aktor, Strategi, dan Jaringan” yang berlangsung di Hotel Jambuluwuk Thamrin, Jakarta, pada 20-22 Februari 2024.
Diskusi yang diinisiasi oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ini diikuti 29 aktivis lingkungan, bersama Kedutaan Besar Belanda ini merupakan bagian dari proyek REACT yang bertujuan memperkuat aksi lingkungan hidup di Indonesia.
“Diskusi ini bertujuan untuk mempelajari aktivisme lingkungan berbasis agama, kepercayaan, dan kearifan lokal serta membangun jaringan antar aktor-aktor tersebut. Kami ingin menggali informasi terkait aktivisme lingkungan dan identitas agama langsung dari para aktivis,” katanya.
Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin, menegaskan bahwa solusi krisis lingkungan hidup tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah dan politisi.
“Sudah mulai tumbuh gerakan lingkungan berbasis keagamaan. Ketika agama dibawa-bawa, artinya ada hal yang urgent yang perlu ditangani bersama,” tuturnya.
Diskusi ini menekankan pentingnya aktivisme lingkungan berbasis agama, kepercayaan, dan kearifan lokal dalam mengatasi krisis lingkungan. Salah satu peserta diskusi, perwakilan dari Green Faith Indonesia, Ita Rosita, menegaskan bahwa upaya
melestarikan lingkungan betapapun sulit perlu terus diupayakan. Penggalangan kekuatan serta pengarusutamaan isu ini juga jadi tanggung jawab tokoh agama.
“Tidak boleh putus asa. Kelompok agama adalah kelompok terbesar untuk perubahan,” pungkasnya.