Pemerintah China menuntut pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab atas kebocoran air radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima.
Hal itu ditegaskan Jurubicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin kepada media di Beijing beberapa waktu lalu.
"Jepang punya tanggung jawab untuk memublikasikan insiden tersebut secara cepat, komprehensif, dan transparan serta bertanggung jawab untuk memberikan perincian kondisinya," kata Wang dikutip dari
Antara, Minggu (11/2).
Tanggung jawab itu, katanya, perlu dijalankan Jepang karena rencana pembuangan limbah akan berlangsung selama 30 tahun atau bahkan lebih lama.
Sementara, Jurubicara Tokyo Electric Power Co (TEPCO) mengatakan diperkirakan ada 5,5 ton (5.500) liter air radioaktif yang bocor dari PLTN Fukushima pada Rabu (7/2) di fasilitas yang memproses air.
Pemrosesan itu berlangsung sebelum sebagian besar unsur radioaktif disaring di fasilitas canggih, yang dikenal sebagai ALPS.
"Insiden ini kembali mengungkap permasalahan yang sudah lama ada dalam manajemen internal TEPCO," ujar Wang, menambahkan.
TEPCO mengatakan kebocoran dari ventilasi diketahui oleh seorang pekerja yang sedang membersihkan ventilasi, sebelum mengoperasikan fasilitas tersebut.
Wang menekankan bahwa China punya banyak alasan untuk khawatir dan tanda tanya besar muncul usai insiden itu.
"Bisakah Jepang menjamin keselamatan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan pembuangan air limbah pada masa depan? Dapatkah fasilitas pengolahan dan pembuangan air yang terkontaminasi nuklir di Fukushima beroperasi dengan stabil dan efektif dalam jangka panjang?" ujarnya.
Kebocoran air yang terkontaminasi nuklir di fasilitas tersebut, menurut Wang, kembali menunjukkan pentingnya skema pemantauan internasional yang efektif dalam jangka panjang.
China mendesak Jepang untuk serius menanggapi kekhawatiran dunia, membuang air yang terkontaminasi nuklir dengan cara yang bertanggung jawab.
Jepang, lanjut Wang, juga perlu bekerja sama dengan negara-negara lain dalam menerapkan skema pemantauan internasional yang independen dan efektif dalam jangka panjang untuk menghindari dampak buruk pembuangan air limbah ke laut.
Atas kebocoran air limbah tersebut, TEPCO menyebut tidak ada tanda-tanda kontaminasi yang terdeteksi di luar fasilitas tersebut. TEPCO juga mengklaim "tidak ada perubahan signifikan" di pos-pos pemantauan radioaktivitas di sekitar pembangkit listrik.
Namun, TEPCO berencana untuk membuang tanah di sekitar area yang mungkin telah terkontaminasi.
PLTN Fukushima hancur akibat gempa bumi besar dan tsunami pada 2011, yang menewaskan 18 ribu orang. Operasi pembersihan fasilitas itu diperkirakan memakan waktu hingga puluhan tahun.
Sejak Agustus 2023, TEPCO secara bertahap mulai melepaskan 1,34 juta ton limbah air olahan yang dikumpulkan sejak bencana ke Samudera Pasifik.
Jepang mengklaim air limbah itu tidak berbahaya dan sangat encer di laut yang kemudian dibuang secara bertahap selama puluhan tahun.
Klaim tersebut didukung oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) setelah badan di bawah sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa itu melakukan survei dampak lingkungan, termasuk dengan mengambil sampel air dan ikan.
Namun, China dan Rusia mengkritik pembuangan limbah PLTN Fukushima serta melarang semua impor makanan laut dari Jepang.