Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) sebagai Pihak Terkait dalam judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), yang terdaftar dalam perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 pada Senin (22/1) lalu.
Ketetapan itu diambil lewat rapat permusyawaratan hakim pada 10 Januari lalu.
“Menetapkan Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia sebagai Pihak Terkait dalam perkara dimaksud, untuk didengar keterangannya dalam persidangan,” kata panitera Mahkamah Konstitusi, Muhidin, lewat keterangan tertulisnya yang diterima
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (25/1).
“Mahkamah akan menjadwalkan persidangan dengan agenda mendengar keterangan Pihak Terkait,” tambahnya.
Kuasa hukum TAPMI, Jeanny Silvia Sari Sirait, mengaku para perwakilan organisasi yang ditetapkan sebagai Pihak Terkait siap untuk memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi sesuai jadwal yang ditentukan. Kata dia, TAPMI merasa perlu untuk memberikan pandangannya agar hakim menolak judicial review tersebut.
“Para Pihak Terkait ingin memastikan bahwa para hakim Mahkamah Konstitusi untuk tetap melindungi awak kapal migran sebagaimana diatur dalam UU PPMI, khususnya Pasal 4 ayat (1) huruf c,” ungkap Jeanny.
“Kami juga menyambut baik dan mengapresiasi keterangan dan jawaban tegas yang disampaikan oleh Pemerintah menolak dalil-dalil yang disampaikan pihak pemohon pada sidang lanjutan Senin, 22 Januari 2024 lalu,” lanjut Jeanny.
Sebelumnya, TAPMI?"yang terdiri dari sembilan perwakilan organisasi pelaut dan organisasi masyarakat sipil?"mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait pada 20 November 2023 lalu.
Sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil tersebut tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), yang terdiri dari: Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.
Pengajuan ini dilatarbelakangi oleh permohonan judicial review UU PPMI yang diajukan oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Perorangan) dan manning agency PT Mirana Nusantara Indonesia.
Pokok permohonan dalam pengujian materiilnya adalah Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Mereka meminta agar klausul tersebut dihapus.
Para Pemohon mengklaim, efek dari pasal tersebut mengakibatkan jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Namun, menurut TAPMI, jika klausul tersebut dihapus akan merugikan pekerja migran di sektor kemaritiman dan perikanan, baik pelaut kapal niaga maupun kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing.
Menurut Sekretaris Jenderal SAKTI, Syofyan, penghapusan klausul tersebut akan membuat pelaut Indonesia di kapal asing bekerja tanpa payung hukum yang melindungi.
“Karena UU No 17/2008 tentang Pelayaran tidak mengakomodir dengan jelas pelindungan pelaut Indonesia yang bekerja di atas kapal asing yang beroperasi di luar wilayah yurisdiksi perairan Indonesia,” ujar Syofyan.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto, menekankan bahwa UU PPMI memberi kepastian pelindungan hukum bagi Awak Kapal Migran dan merupakan hasil perjuangan panjang karena sebelumnya ada kekosongan hukum.
“Dengan diakomodirnya Awak Kapal Migran dalam UU 18/2017 terdapat kepastian pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial,” pungkas Hariyanto.