Ilustrasi warga membeli BBM di SPBU/Net
Calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berencana menekan anggaran subsidi. Hal ini disiapkan untuk mengefisiensikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di tengah besarnya nilai utang saat ini yang telah tembus Rp8 ribu triliun lebih.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno. Menurutnya, efisiensi itu harus dilakukan di tengah besarnya utang pemerintah saat ini yang merupakan dampak dari masa Pandemi Covid-19. Efisiensi dalam pemberian subsidi itu menjadi opsi yang akan ditempuh jika Prabowo-Gibran menang Pilpres 2024.
"Subsidi kita itu masih terlalu besar dan tidak tepat sasaran, ini adalah salah satu yang akan kita sisir ke depannya untuk mendapatkan efisiensi APBN ke depan," kata Eddy, Kamis lalu (11/1).
Rencana ini langsung mendapat kritik keras dari Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Arjuna Putra Aldino. Menurut Arjuna, subsidi BBM dan LPG masih sangat diperlukan, terutama untuk masyarakat miskin dan UMKM.
Apabila banyak yang tak tepat sasaran, lanjut Arjuna, solusinya bukan menghapus subsidi tersebut, melainkan memperbaiki tata kelola subsidi agar tepat sasaran. Sebab subsidi BBM dan LPG berguna untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
“Kami tidak setuju apabila subsidi BBM dan LPG dihapus, karena rakyat miskin dan UMKM masih sangat membutuhkan. Jika banyak yang tidak tepat sasaran, ya diperbaiki tata kelolanya. Jangan dihapus subsidinya. Harus inovatif dong,” tegas Arjuna melalui keterangannya kepada redaksi, Selasa (16/1).
Sambung Arjuna, kebijakan subsidi BBM dan LPG dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam oleh negara. Selain itu, BBM dan LPG merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah (miskin).
Subsidi BBM dan LPG juga sangat berpengaruh pada penghasilan nyata rumah tangga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Harga BBM murah menyebabkan porsi pendapatan yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi bisa ditekan.
“Pencabutan subsidi BBM dan LPG bisa menggerus daya beli masyarakat. Dan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sektor yang paling terkena dampak penurunan daya beli itu adalah pelaku UMKM. Bisa banyak UMKM kita yang bakal bangkrut,” papar Arjuna.
Penghapusan subsidi BBM dan LPG, lanjut Arjuna, akan berpengaruh pada kenaikan harga BBM dan inflasi pangan. Di mana semua ini akan berdampak negatif terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang menyerap sebanyak 119,6 juta tenaga kerja di Indonesia.
Padahal, sebagian besar pelaku UMKM dan pelaku usaha informal lainnya sangat bergantung pada BBM bersubsidi dalam menjalankan usahanya. Kenaikan harga BBM akan memberikan dampak signifikan terhadap biaya produksi. Sehingga kenaikan harga barang tidak terelakkan.
“Subsidi masih dibutuhkan oleh pelaku UMKM kita. Jika subsidi dihapus, UMKM bisa terpukul, terjepit tidak bisa menjalankan usahanya dengan kompetitif,” terang Arjuna.
Dituturkan Arjuna, sejak 2014 hingga sekarang upaya menghapus subsidi BBM dan LPG selalu menggunakan narasi yang sama, yaitu tidak tepat sasaran dan dinikmati orang yang mampu. Namun tidak ada upaya perbaikan pendataan ataupun pembatasan.
Pertalite digunakan semua kalangan, solar bocor ke industri yang tidak berhak. Kesalahan dalam pengelolaan, pembatasan hingga pengawasan, solusinya subsidinya dihapus. Ini solusi yang menyengsarakan rakyat, rakyat miskin yang dibebani.
“Jadi jangan salah dalam pengelolaan, pembatasan, hingga pengawasan malah rakyat miskin yang jadi korban. Ini tidak adil,” tutup Arjuna.