Capres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo/Rep
TERDAPAT 3 isu strategis terkait pertahanan yang dihadapi Indonesia saat ini telah disampaikan Capres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo dalam debat. Di antaranya adalah potensi konflik hegemonik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, tantangan strategis dari Tiongkok di Laut Cina Selatan, dan pemindahan Ibukota Negara (IKN).
Konflik hegemonik di masa depan ditengarai akan berdampak kepada Indonesia melalui dua skenario: (1) invasi Tiongkok ke Taiwan yang mengakibatkan lebih dari 250.000 WNI perlu segera dievakuasi, dan (2) kekuatan asing yang berperang (belligerent) berupaya menyeret Indonesia untuk berpihak, baik melalui proksi maupun penggunaan teritorial Indonesia untuk proyeksi kekuatan.
Tantangan strategis Indonesia adalah agresivitas Tiongkok di Laut Natuna Utara/Laut Cina Selatan yang mengklaim Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia sebagai bagian dari sembilan garis putus-putus (9 dash line). Perubahan karakter operasi Tiongkok dari strategi zona abu-abu (
grey zone), yang mengedepankan aktor non militer dan intimidasi-menjadi penggunaan kekerasan berintensitas rendah-seperti mengarahkan laser standar militer ke kapal Filipina dan blokade kapal suplai-harus dipikirkan penangkalnya.
Rencana pemindahan Ibukota Negara (IKN) ke Kalimantan juga memunculkan kerawanan baru disebabkan oleh perbedaan faktor demografi dan geografi perbatasan. Gelar kekuatan militer negara-negara adidaya di Indo-Pasifik juga mesti dipertimbangkan sebagai potensi ancaman terhadap Indonesia secara umum dan Nusantara secara khusus. Wilayah udara Nusantara masuk dalam radius tiga kapabilitas militer Amerika Serikat dan Tiongkok: pesawat pembom strategis, pesawat jet tempur, dan rudal jelajah. Apabila terjadi konflik bersenjata terbuka di antara keduanya di masa depan, maka IKN akan masuk ke perlintasan tembak.
Perubahan
center of gravity pasca perpindahan IKN dan kerawanan-kerawanan baru menuntut kaji ulang relevansi strategi pertahanan negara yang saat ini berkarakter perang semesta, defensif-aktif, dan pertahanan berlapis. Tiga isu strategis tersebut di atas berkarakter konflik berbasis maritim yang mensyaratkan proyeksi kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang mumpuni, didukung oleh Angkatan Darat yang kuat. Meski Indonesia telah menerbitkan Poros Maritim Dunia yang memiliki 7 (tujuh) pilar termasuk pertahanan, akan tetapi strategi ini cenderung mandek pada narasi politik dan dalam implementasinya tidak mengarah pada penguatan Angkatan laut dan udara.
Saat ini, Indonesia mengalami underbalancing terhadap dinamika persenjataan di Kawasan Indo Pasifik. Rencana modernisasi Kekuatan Pokok Minimal baru terpenuhi sekitar 65 persen di tahun 2022. Sistem persenjataan yang digelar belum cukup untuk melindungi seluruh wilayah teritorial Indonesia sehingga menciptakan kesenjangan kesiapan operasional tempur. Sistem persenjataan Indonesia cenderung juga tidak terhubung antara satu jenis senjata dengan senjata lain (
interoperabiliy) yang menyulitkan gelar operasi militer gabungan.
Terakhir, sistem persenjataan Indonesia tidak didukung oleh satu komando pengendalian yang didukung oleh gelar sistem komunikasi, sensor, penginderaan, dan pengintaian yang terpadu. Sebagai akibatnya kesiapan pertahanan kita cukup rendah, seperti pesawat tempur yang hanya 50 persen operasional.
Rencana modernisasi pertahanan ke depan harus berbasiskan pada perubahan karakter perang modern dan perkembangan teknologi yang mempengaruhinya. Kajian mengenai
emerging technology yang disusun oleh O Hanlon, menyebut beberapa teknologi yang berpotensi menjadi game changer yang mengubah cara berperang dan menggeser perimbangan kekuatan hegemoni. Teknologi tersebut di antaranya adalah rudal hipersonik dan
unmanned vehicle (UV) atau
drone. Selama konflik Nagorno Karabakh, kita diperlihatkan bahwa
drone membantu pemenangan Azerbaijan melawan Armenia.
Hal serupa kita saksikan di Ukraina dimana baik Rusia dan Ukraina mengandalkan drone untuk mendeteksi pasukan musuh dan menjadi
guide serangan artileri. Selain itu, negara-negara besar juga mengeksplorasi potensi penggunaan ruang angkasa, perang dunia maya dan elektronik untuk menargetkan jaringan komando dan kendali musuh.
Meski teknologi menjadi determinan utama transformasi pertahanan, namun ini juga menempatkan negara konsumen pada posisi kurang menguntungkan. Pertama, harga teknologi militer terus mengalami peningkatan. Kedua, karena superioritas teknologi dianggap faktor penting kemenangan perang, maka teknologi terdepan dilindungi betul dan hanya dibuka kepada aliansi. Ketiga, negara non aliansi pun dihalangi dari mendapatkan teknologi sebagaimana terjadi sebagai dampak sampingan CAATSA (Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi) yang diterapkan AS kepada Rusia, Iran, dan Korut.
Beberapa hal yang perlu direkomendasikan kepada pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Kaji ulang strategi dan postur pertahanan Indonesia dengan mempertimbangkan adopsi
emerging technology yang berdaya gentar tinggi, (2) Merumuskan daftar teknologi kritis bagi transformasi pertahanan Indonesia dan strategi untuk “mencuri” teknologi intinya, dan (3) Mengkaji opsi kemitraan dengan negara-negara yang terdepan dalam investasi teknologi terdepan, berpengalaman dalam alih teknologi, dan tidak berpotensi memiliki benturan kepentingan dengan Indonesia.
*
Penulis adalah Direktur Maritime Strategic Center, Analis Pertahanan dan Maritim Indonesia