BANYAK sekali orang terpojok dan sulit berdebat di ruang publik ketika muncul wacana yang mengait-kaitkan nilai-nilai agama dan politik. Terutama dalam ajang pemilihan Presiden.
Ada lumayan banyak masyarakat yang menentukan pilihannya berdasarkan kesamaan agama atau menganggap salah satu kandidat mewakili perjuangan agama. Memilih Presiden dianggap sebagai jalan suci dan penentu amalan akhirat. Dianggap sebagai bentuk pengabdian diri pada ilahi.
Untuk sebuah negara seperti Indonesia, ketika preferensi pemilih menganggap politik adalah perjuangan agama sehingga memilih calon presiden berdasarkan atribut-atribut agama apalagi atribut-atribut keimanan, jelas dia salah besar. Beberapa argumen yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
Pertama, Negara Indonesia terbentuk bukan berbasis agama tertentu. Pendiri bangsa ini memiliki latar belakang keyakinan yang beragam sehingga Negara Indonesia bukanlah negara agama. Negara Indonesia terbentuk berdasarkan kesepakatan anak bangsa yang berasal dari berbagai agama, suku, aliran, kelompok, dan berbagai perwakilan.
Tanpa kesepakatan ini, tidak mungkin sebuah negara terbentuk. Kesepakatan membentuk Indonesia jelas telah melalui berbagai diskusi, wacana, argumen, dan ketegangan-ketegangan pandangan. Proses ini berlangsung secara intens dan penuh dengan berbagai kajian kemungkinan-kemungkinan.
Formula yang akhirnya merumuskan dan menetapkan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berlangsung hanya sehari-dua hari, tetapi telah melewati tahapan-tahapan perdebatan yang panjang.
Kedua, sebuah negara terbentuk dengan niat untuk meraih sebuah cita-cita. Formula cita-cita ini adalah hasil rembukan bersama dan kesepakatan bersama antara
founding fathers.
Pun Negara Indonesia juga demikian. Sehingga siapa pun presidennya, dia harus memperjuangkan cita-cita ini. Siapa
founding fathers ini? Adalah mereka yang mempunyai kapasitas tinggi dari segi intelektualitas, politik, keagamaan, pengalaman, dan kemuliaan.
Ketiga, cita-cita negara bukanlah cita-cita yang ada dalam sebuah agama tertentu. Cita-cita negara adalah sebuah kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Biasanya adalah tujuan untuk mencapai kesejahteraan, yang bagi Indonesia dipahami sebagai perwujudan adil dan makmur.
Apabila cita-cita itu diubah berarti mengubah kesepakatan bersama saat negara itu dibentuk. Mengubah cita-cita berarti mengubah negara. Bahkan bisa saja membubarkan negara. Cita-cita inilah yang membentuk fondasi ideologis sebuah bangsa.
Keempat, artinya, memilih Presiden adalah sikap yang meyakini bahwa figur itu dianggap mampu untuk mewujudkan cita-cita bersama yang tercantum dalam UUD; bukan cita-cita yang lain. Akan kacau-balau bila sampai berharap kelak Presiden Terpilih mesti membela kelompok tertentu. Jelas hal ini malah akan menimbulkan kecemburuan dan perpecahan. Kelompok-kelompok minoritas akan merasa terancam. Akan selalu merasa terintimidasi oleh kelompok mayoritas.
Kelima, setelah terpilih, presiden akan dikawal oleh Undang Undang Dasar, bukan Kitab Suci. Sehingga apapun atribut-atribut agama yang dia jual saat kampanye untuk menarik simpati pemilih, tidak akan pernah bisa dia perjuangkan dan tidak akan bisa dia lakukan.
Presiden akan terus-menerus diingatkan oleh berbagai pihak (dewan, cendikiawan, kelas menengah, jurnalis, dan lain-lain) bahwa dia tidak boleh berpihak. Harus adil untuk semua. Bahkan presiden memiliki kewajiban untuk senantiasa melindungi pihak minoritas, kaum tertindas, dan segala kelompok yang tidak beruntung.
Keenam, sekali seorang presiden terpilih, dia bukanlah presiden yang mewakili agamanya atau atribut-atribut personal lainnya. Dia adalah presiden yang mewakili bangsanya. Di sini jelas bahwa bangsa adalah sebuah identitas yang berasal dari beragam latar belakang.
Ketujuh, adalah juga patut bahwa memilih presiden haruslah memilih figur yang kita anggap baik. Figur yang secara moral dapat menjadi keteladanan, secara etik patut dipuji, dan secara norma memenuhi rasa kepantasan. Namun ini semua ukuran penilaiannya bukanlah pada tuntunan kitab suci semata.
Lebih dari segalanya dia harus dinilai dari rekam jejaknya terkait kepatuhan dan pemahaman akan konstitusi. Apakah dia pernah korupsi? Apakah dia pernah dipenjara? Apakah dia pernah berkhianat pada rakyat? Apakah dia pernah jahat pada kaum minoritas? Apakah dia selalu bersikap adil?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan jauh lebih ampuh untuk memastikan dia akan amanah pada bangsa dan negara.
Kedelapan, konsep negara agama sangat sulit terwujud. Di zaman Nabi pun tidak pernah terjadi apalagi di zaman modern sekarang ini.
Sejarah mencatat bahwa bangsa-bangsa yang memilih untuk mendirikan negara berbasis murni agama, gagal menyejahterakan dirinya. Rawan memicu konflik dan kecemburuan. Rawan ketegangan dan menumbuhkan perang. Akhirnya negara-negara itu hanya berusia seumur jagung.
Kesembilan, sebagai contoh, Maladewa (Maldives) saat ini populasinya 100% muslim. Timor Leste (East Timor) lebih dari 99% populasinya adalah Kristen. Dua negara ini pun tidak memilih agama sebagai dasar negaranya. Maladewa berbentuk republik. Dipimpin oleh seorang presiden dengan perwakilan multipartai. Sementara Timor Leste berbentuk Republik-Demokratik dan dipimpin oleh presiden bersama dengan perdana menteri. Mereka sadar membentuk negara agama bukanlah pilihan yang ideal dan logis.
Kesepuluh, dalam sejarah, tidak ada satupun negara Islam di dunia. Pernah ada yang berbasis Islam seperti zaman khilafah, tetapi itu pun bukan negara Islam. Khilafah pun hancur oleh perang besar dan itu pun sebelumnya selalu memendam konflik. Pandangan ideal di ranah ini hanya sebatas utopia.
Kesebelas, banyak umat muslim di Indonesia menganggap negara-negara di Timur Tengah, di Arab, adalah negara-negara Islam. Faktanya sama sekali bukan. Arab Saudi berbentuk Kerajaan. Irak berbentuk Republik. Dua bentuk pemerintahan ini yang hanya ada di Timur Tengah.
Bahkan sebagian besar dari mereka menganut paham sekuler dalam kehidupan sehari-harinya. Di Timur Tengah tidak ada warganegara yang dipaksa untuk menjalankan ketentuan kitab suci dalam bernegara. Semuanya berbasis UUD yang disepakati bersama sejalan dengan bentuk negara yang dipilih.
Kesimpulan dari argumen-argumen di atas adalah bahwa memilih presiden itu adalah amanat UUD; bukan amanat kitab suci. Presiden Indonesia dipilih setiap 5 tahun sekali oleh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih. Bangsa yang berdaulat, bukan umat yang berdaulat. Pun presiden terpilih adalah sosok yang berdaulat berdasarkan konstitusi.
Senyatanya presiden adalah pemimpin negara. Pemimpin seluruh rakyat yang memiliki berbagai keragaman. Sementara pemimpin agama ada dalam wilayah umat, jemaah, dan majelis. Jelas perjuangannya berbeda karena negara tidak mengatur kehidupan akhirat.
Sebuah kitab suci juga tidak bisa mengatur semua umat manusia karena mereka memiliki latar keyakinan agama yang tidak sama. Seorang nabi pun tidak bisa menyeragamkan agama bagi semua penduduk Makkah dan Madinah karena membentuk negara dan menjaga negara memiliki tantangannya sendiri.
Untuk itulah, untuk mencapai kesejahteraan di dunia kita harus mempunyai presiden yang adil bagi semua.
Yang paling berisiko, apabila seorang presiden disematkan pada dirinya sebagai wakil agama tertentu, saat dia berbuat salah, agama itulah yang akan terbawa-bawa stigma negatif di mata seluruh elemen bangsa.
Manusia tempatnya salah dan khilaf maka tidak seharusnya pemimpin negara menyandang status representasi keagamaan. Sebagai umat yang bertanggung jawab, kita mesti menghindari hal-hal semacam ini.
*Penulis adalah Consultant Director Citra Indonesia