Debat Calon Presiden 2024 yang digelar KPU RI di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1)/RMOL
DEBAT ketiga capres sama sekali tidak tampak sebagai debat yang berkualitas melalui eksplorasi gagasan dan menemukan terobosan.
Debat lebih sebagai untuk menyudutkan lawan bicara, memprovokasi, dan kecenderungannya subjektivitas pribadi dalam menilai lawan atau fokus mencari kesalahan lawan, tapi tidak dalam konteks materi debat. Mirip orang putus pacar, salah dicari sampai lubang semut.
Padahal tema debat kali ini berat bagi masyarakat umum dan masalah yang didebat adalah kompleks dan tidak linier. Debat tema ini sangat kuat aspek ekonomi politiknya dan memang itulah
tools yang baik dalam memahami dan memecahkan masalah bangsa saat ini.
Debat ini mengambil tema pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, geopolitik dan lain-lain. Sangat banyak tema dan masalah yang dapat dieksplorasi dalam debat ini, sebenarnya.
Karena, debat ini juga seharusnya menunjukkan kepada internasional betapa berkualitasnya bangsa kita. Tapi apa boleh buat, ini masih gaya emak-emak ngerumpi.
Terkait pertahanan keamanan, banyak masalah besar yang dihadapi Indonesia terutama sekali pembentukan AUKUS yang membawa kapal selam nuklir ke Australia sebagai ancaman pertahanan keamanan paling serius bagi Indonesia.
Indonesia juga harus memainkan peran penting dalam konflik Laut China Selatan, stabilitas kawasan Asia, ASEAN, masalah pembebasan Palestina, konflik di Myanmar dan penanganan pengungsi dan lain sebagainya.
Masalah keamanan nasional juga masih begitu banyak terkait dengan pencucian uang, kejahatan transnasional yang melibatkan transaksi uang kotor, perjanjian penanganan korupsi, kejahatan keuangan, perjanjian anti pencucian uang, pembobolan data pribadi, kerusakan data akibat korupsi e-KTP, kekacauan ITE Indonesia akibat korupsi tower dan lain-lain.
Mestinya debat ini bisa fokus isu salah satunya keamanan data. Paling tidak mengevaluasi proyek e-KTP yang dibiayai bank dunia begitu besar, mengapa tidak didayagunakan untuk memperkuat keamanan data pribadi?
Ini harus diperbaiki dan masalah korupsi e-KTP yang sangat besar itu harus diselesaikan agar dunia yakin masih bisa bekerja sama di masa depan dengan Indonesia terkait rezim data.
Masalah hubungan luar negeri juga menjadi tantangan besar karena banyaknya diplomasi yang harus diselesaikan Indonesia. Gugatan di WTO terkait agenda hilirisasi di Indonesia, gugatan nikel, pelarangan sawit di Uni Eropa, penolakan atas biodiesel Indonesia, gugatan soal pembatasan impor ayam, dan berbagai diplomasi internasional lain yang memerlukan pendalaman dan terobosan.
Selain itu ada masalah besar terkait patahan geopolitik, yakni transisi energi, digitalisasi dan penataan sistem keuangan baru yang tidak lagi berbasis devisa atau cadangan mata uang asing. Ke semua isu itu akan menjadi patahan sejarah yang besar. Bagi Indonesia sebagai
climate superpower baru, akan menjadi kekuatan kunci dalam penyelesaian masalah iklim.
Lebih mendasar lagi kemampuan diplomasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia dalam membangun ekonomi,
depend and security yang harus ditopang oleh keuangan kuat.
Tidak ada kekuatan diplomasi jika bangsa dan negara masih kere. Maka harus ada lompatan besar dalam menggerakkan industrialisasi, hilirisasi, dan penyelamatan keuangan melalui penyelamatan uang cucian senilai Rp340 triliun, uang Rp11 ribu triliun, dan lain-lain. Sehingga Indonesia tidak dianggap sebagai pusat pencucian uang oleh internasional.
Kesimpulan hasil debat saya lihat mirip Rapat Dengar Pendapat DPR dengan Kementerian Pertahanan. Dua pasangan capres hanya sibuk masalah pertahanan saja atau khusus menyudutkan Kementerian Pertahanan yang Menteri Pertahanannya merupakan Capres nomor 2.
Lalu mereka berusaha membongkar data-data pertahanan negara untuk maksud tertentu dan tidak memperluas spektrum perdebatan kepada konsepsi-konsepsi.
Akhir debat ini, capres 1 memberi nilai Kementerian Pertahanan 11 dari 100 (sangat merah) dan capres 3 memberi nilai 5 (merah juga) kepada Kementerian Pertahanan.
Kita, publik bingung juga ini maksudnya apa? Dasarnya apa? Data pertahanan negara seperti apa yang dipegang capres-capres ini sehingga berani membuat kesimpulan semacam itu?
Apakah mereka juga memegang rahasia negara yang paling vital? Semoga tidak diumbar pesan Gemoy. Tapi siapa menjamin?
Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)