Berita

Ilustrasi/Net

Suara Mahasiswa

Konflik Agraria dan Perampasan Ruang Hidup, Siapa Dalangnya?

OLEH: DIAN FITRIANI*
SELASA, 26 DESEMBER 2023 | 22:21 WIB

MARAKNYA konflik agraria pada rezim Joko Widodo (Jokowi) memang tak dipungkiri dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Tanah Air. Pasalnya hak hidup masyarakat tak lagi diindahkan oleh pemerintah, baik daerah maupun pusat.

Hal ini disebabkan oleh gaya pembangunan kapitalistik yang dianut oleh negara. Negara yang menjadi regulator kini bahkan berlagak layaknya broker tanah yang sayangnya tanah ini dihidupi oleh jutaan rakyat tak berdaya.

Mereka telah hidup di atas tanah yang turun-temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Namun kini mereka harus dipaksa meninggalkan tanahnya hanya karena tak punya sertifikat tanah, belum lagi pemaksaan penjualan lahan yang tak sebanding harganya atau yang lebih miris mereka terusir tak tahu harus tinggal di mana.
 
Kasus Rempang misalnya, sudah menjadi rahasia umum kezaliman penguasa sangat bercokol pada kasus ini. Nyatanya, negara yang seharusnya menjadi benteng dari segala kezaliman yang terjadi justru menjadi momok paling bertanggung jawab atas terusirnya warga Rempang dari tanah moyangnya.

Tak hanya Rempang, Wadas yang hari ini mungkin sudah luput dari ingatan, peristiwa itu tetap menyisakan kepedihan, di mana warga harus tersakiti kala bentrokan dengan aparat tak dapat dihindari. Pendekatan kebijakan yang hari ini justru lebih bersifat koersif dan represif sangat jauh dari nilai demokratis yang selalu dijunjung dan dijual oleh para politikus demokrasi.
 
Terusir dan terjajahnya warga setempat membuktikan bahwa kebijakan dengan dalih pemerataan pembangunan melalui Proyek Strategis Nasional tidak melalui dialog persuasif antara pemangku kebijakan dan warga sehingga penolakan tak dapat dihindari.

Ironisnya pemerintah lebih memilih menggunakan pendekatan intimidasi melalui aparat demi membungkam dialektis warga. Padahal penolakan merupakan umpan balik terhadap kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat, bukan semata-mata rasa kebencian subyektif.
 
Bukan main-main, kekerasan yang terjadi bahkan tak pandang bulu. Peristiwa gas air mata yang merebak hingga ke sekolah-sekolah saat proyek pembangunan Rempang Eco-City (REC) pada awal September 2023 meletus menjadi peristiwa mengerikan. Warga yang menolak digusur mendapatkan perlawanan yang tidak setimpal alias mengancam keselamatan warga.

Hal ini menunjukkan taring sebenarnya dari pemerintah, kebohongan yang diciptakan oleh pemerintah tentang betapa pentingnya proyek ini karena keuntungan amat menggiurkan. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengungkapkan investasi asing di Rempang nilainya lebih dari Rp300 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp175 triliun.
 
Namun tidak ada yang bisa membuktikan bahwa keuntungan dari proyek itu semata-mata untuk kepentingan rakyat. Nyatanya lokasi permanen relokasi warga belum juga dibangun. Artinya pengusiran warga regional Rempang merupakan kezaliman yang nyata.

Bahkan ironisnya, jika memang proyek itu semata-mata untuk kepentingan rakyat, mengapa tidak melalui dialog publik secara terbuka sebelum menjadikan Rempang sebagai lokasi investasi asing?

Dan yang lebih penting mengapa rakyat setempat harus mendapatkan kekerasan dan pengusiran? Padahal alasan mereka sangat logis mereka tidak akan pindah sebelum mereka mendapatkan kepastian relokasi yang layak dan nyaman.
 
Pernyataan yang tidak terbukti juga muncul dari Bahlil yang menyatakan bahwa sudah lebih dari 50 persen warga yang mendaftar untuk relokasi. Namun penolakan warga terhadap proyek ataupun relokasi tidak terhindarkan, bahkan merebak hingga mendapatkan perlawanan yang sangat memberikan kesan pemaksaan dan kekerasan.

Pemerintah justru menggunakan aparat sehingga bentrokan antara warga dengan aparat tak ayal membahayakan keselamatan kedua belah pihak.
 
Fakta ini membuktikan bahwa rakyat Rempang enggan untuk pindah. Hal ini sangat masuk akal, mengapa? Karena kesejahteraan yang dijanjikan belum tentu tercapai justru malah penindasan, pembungkaman, serta intimidasi hingga kekerasan terhadap warga telah dirasakan dan sangat mungkin akan terus terjadi selama warga tidak melakukan apa yang pemerintah mau dan inginkan.

Lantas apakah masih kita percaya bahwa proyek strategis nasional yang kini digembar-gemborkan oleh pemerintah semata-mata untuk kepentingan rakyat? Atau justru hanya untuk kepentingan oligarki semata?
 
Pada dasarnya realitas yang terjadi berinduk pada sebuah sistem yang tengah menggurita bahkan pada tingkat global, yakni sistem kapitalisme. Sistem inilah mewarnai corak pembangunan dianut oleh negara ini yang lahir dari rahim sama, yakni pembangunan kapitalistik.

Corak pembangunan ini merupakan modifikasi dari nilai kolonialisme dan imperialisme sehingga hibridisasi dari keduanya dapat dikenal sebagai neoimperialisme atau imperialisme gaya baru.
 
Untuk melengkapi puzzle, maka pemahaman mengenai pembangunan kapitalistik tidak boleh setengah-setengah. Maka berangkat dari muncul pertanyaan, sebetulnya apa yang dimaksud dengan pembangunan kapitalistik? Mengapa ini menjadi biang kerok dari segala konflik agraria yang hari ini mengemuka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengulas melalui beberapa aspek penting, yakni sejarah, titik kritis dan dampak dari gaya pembangunan kapitalistik.
 
Kapitalisme sebagai Sistem Ideologi Fasad

Kapitalistik, artinya segala sesuatu yang bersifat kapitalisme. Kapitalisme sendiri dikenal sebagai ideologi global yang dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan barat berbasis liberalisme dan mekanisme ekonomi perbankan dan ribawi serta pasar bebas.

Kapitalisme ini merupakan efek domino dari berhasilnya mesin uap sebagai komoditas modal paling prestisius di era 1.0. Di mana para pemilik mesin uaplah sebagai penggerak roda perekonomian, menciptakan lapak-lapak feodalisme dan memupuk imperialisme gaya baru.
 
Berkenaan dengan gaya pembangunan kapitalistik, maka secara orisinil gaya pembangunan ini berangkat dari prisma kapitalisme di mana seluruh dari kelima sudut prisma berkaitan langsung, yaitu institusi pemerintahan, ekonomi, materialisme, relativisme, dan disparitas organik.

Melalui kebijakan struktural, transaksi ekonomi, gaya hidup masyarakat hingga corak berpikir masyarakat berdampak pada kesenjangan yang semakin langgeng seiring diterapkannya kapitalisme.

Kapitalisme tidak hanya melahirkan kerusakan yang ditafsirkan oleh sebagian pandangan subjektif, melainkan juga instabilitas sebagai realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun bahkan penganutnya.
 
Syaikh Dr. Abdul Qadir as Sufi dalam bukunya Bagi Sang Pembebas, menjelaskan bahwa kapitalisme bukan hanya sekadar sistem, melainkan kecenderungan psikosis di mana seseorang dapat kehilangan dengan kontak realitas, yaitu memandang cara kerja dunia dengan pandangan yang keliru.

Hakikatnya mediasi antara diri kita dengan realitas dunia yaitu otak atau kecerdasan alam berfikir. Namun kapitalisme merusak bahkan menciptakan sistem berfikir sendiri. Sehingga dampaknya melahirkan deprivasi yang mengemuka, meminggirkan prioritas dan hierarki fitrah manusia, memunculkan khayalan dan ilusi yang tampak nyata.
 
Meski begitu, gaya pembangunan kapitalistik sudah dianggap sebagai sebuah gagasan paripurna. Alhasil, gaya ini diadopsi oleh beberapa proyek global seperti CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), BPFA (Beijing Platform For Action), MDGs (Millenium Development Goals) yang kini menjadi SDGs (Sustainable Development Goals), ataupun proyek nasional seperti proyek strategis nasional di beberapa wilayah di antaranya Wadas, IKN (Ibu Kota Nusantara), dan Rempang.
 
Berdasarkan aspek historis, gaya pembangunan kapitalistik yang kita kenal hari ini tidak lain dipengaruhi oleh perkembangan kolonialisme dan imperialisme barat. Arus pembangunan kapitalistik ini terus berkembang seiring berganti dan berkembangnya peradaban berdasarkan era kebanyakan orang mengenal sebagai istilah “Revolusi Industri”.

Ada 4 era yang bisa kita uraikan di antaranya:

1. Imperialisme 1.0 era di mana penguasaan tanah oleh para penjajah barat seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Prancis serta negara kolonial lain yang berada di wilayah asia Timur yakni Jepang. Tanah-tanah yang dijajah umumnya memiliki peluang strategis geografis seperti kesuburan, keragaman hayati, kekayaan SDA (sumber daya alam) serta rempah.

2. Imperialisme 2.0, era ini dikenal sebagai awal mula gelombang nasionalisme yang berwujud sebagai kemerdekaan wilayah jajahan yang diinisiasikan oleh pribumi setempat. Era ini berlangsung setelah perang dunia II. Banyak negara-negara berkembang di antaranya termasuk Indonesia yang merdeka pada era ini.

Di sisi lain, kemerdekaan diraih hanya pada wilayah jajahan negara imperialis yang bersangkutan, bukan pada wilayah-wilayah jajahan negara imperialis lain, contohnya Malaysia yang notabene secara geografis sebagian wilayahnya berada satu pulau dengan Kalimantan, namun wilayah tersebut dikuasai oleh negara imperialis berbeda.

Sebagian wilayah yang kini menjadi Indonesia dikuasai oleh Belanda, dan sebagian lainnya menjadi Malaysia, dikuasai oleh Inggris.

Artinya, kemerdekaan yang diraih bukan semata-mata merupakan kemerdekaan hakiki, melainkan perpindahan antara penjajahan tanah kepada penjajahan gaya baru, yakni neokolonialisme melalui berbagai UU internasional yang wajib diratifikasi melalui UU nasional.

Hal ini akibat dari berkuasanya Amerika Serikat sebagai episentrum peradaban global melalui lembaga-lembaga internasional seperti PBB yang menjadi manifestasi hegemoni ideologi kapitalisme atas dunia.

3. Imperialisme 3.0 merupakan era globalisasi. Pada era ini, mulai merebaknya persaingan pasar bebas hingga industrialisasi di berbagai kota urban. Sampah industri atau limbah tidak terkendali dan terjadi eksploitasi alam besar-besaran dengan dalih investasi asing hingga perluasan lahan dan ruang hidup masyarakat melalui berbagai proyek pembangunan hingga akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan.

4. Imperialisme 4.0. Pada era ini negara dikuasai oleh digitalisasi kapitalisme sebagai pemilik korporasi raksasa yang mengendalikan big data yang berdaya mengontrol ruang publik secara luas melalui algoritma oleh aktivitas manusia. Efeknya tentu berdampak pada kemerdekaan pikiran yang terampas dan terjajah, bahkan terbelenggu oleh hipnotisme psikotik kapitalisme melalui beranda-beranda digital.

Pasalnya tidak ada lapisan masyarakat yang tidak menggunakan internet ataupun media sosial, kecuali sebagian kecil masyarakat miskin akibat dari kemiskinan struktural sebagai harga dari imperialisme 3.0, di mana kebijakan negara bergantung pada aktivitas bisnis penguasa dengan para pengusaha.

Dari keempat era yang secara hierarkis berlangsung berdasarkan kurun waktu, hingga saat ini baru Jepang yang mulai mengadopsi gaya pembangunan 5.0.
 
Kemudian titik kritis dari gaya pembangunan kapitalistik ini ada pada transaksional antara penguasa dan pengusaha. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam gaya pembangunan kapitalistik.

Dampaknya hegemoni oligarki terhadap negara secara absolut dapat terjadi. Hal ini dapat berlangsung dari sebuah pola yang tak dapat dihindari, contohnya melalui tawaran investasi dari oligarki yang cukup menggiurkan di beberapa lahan strategis suatu negara sehingga kontrak terjadi tanpa ada dialog publik sehingga melahirkan konstruksi neo-economy classic.
 
Neo-economy classic dapat terwujud melalui proyek industri kota urban maupun hilirisasi pembangunan desa serta eksploitasi sumber daya alam di berbagai wilayah strategis. Proyek ini tentu saja hanya menguntungkan oligarki, sementara warga setempat hanya kebagian gigit jari, bahkan harus siap terusir dari kampung halaman atau tanah turunan nenek moyang.
 
Rakyat jadi Korban

Sebenarnya, fenomena perampasan lahan dan konflik agraria yang terjadi hanyalah fenomena gunung es sebagai sebuah ilusi optik. Peristiwa yang diberitakan mengenai konflik agraria hadir di tengah-tengah publik seakan mencuat secara temporal, namun nyatanya akan meledak sewaktu-waktu layaknya bom waktu.

Hal ini tidak dipahami melainkan hanya sekadar dikaji lalu tidak pernah benar-benar dituntaskan dari akar permasalahannya. Pertanyaannya, adakah pemerintah mengetahui akar masalahnya? Atau adakah sebagian masyarakat yang menyadari akar masalahnya?
 
Dari sini penulis mencoba menyadarkan umat tentang apa yang menjadi akar masalah dari konflik lahan di negeri subuh nan surgawi ini. Akar masalahnya tentu saja sistem kapitalisme yang secara kronik diidap oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
 
Sementara pembangunan kapitalistik lahir dari neo-imperialisme ala kapitalisme. Kembali lagi, bahwa kapitalisme ini selalu terikat dengan pemilik modal dalam kelangsungan ideologinya. Tentu saja ini akan berdampak pada mekanisme pembangunan kapitalistik yang juga bergantung pada para pemilik modal.
 
Mengapa gaya pembangunan kapitalistik ini sangat bergantung pada para pemilik modal? Jawabannya tentu saja ini berinduk pada sistem kapitalisme, di mana seluruh dana operasional negara bergantung pada modal-modal cukong dan korporasi.

Tidak ada kemerdekaan yang berarti bagi para politisi, artinya perhelatan politik tidak lagi tercipta melalui gagasan melainkan seberapa kencang modal materiil yang dimiliki oleh sang calon penguasa. Sementara mobilisasi kepentingan bisnis para korporasi tidak akan terealisasi melainkan secara struktural yang dihasilkan melalui mekanisme kebijakan.

Hal ini akhirnya menjadi sebuah jalan keduanya untuk bekerja sama atau simbiosis mutualisme guna menyatukan kepentingan yang tentu sangat jauh dari mewakili ‘kepentingan rakyat’.
 
Ilustrasi sederhananya adalah bayangkan jika perusahaan tambang yang menggurita membutuhkan izin tambang di suatu daerah lokal yang asri dan kaya akan komoditas tambang. Namun tentu saja, perusahaan ini akan terhambat dalam perizinan dengan berbagai mekanisme rigid salah satunya Amdal (analisis dampak lingkungan), maka simpelnya perusahaan harus bersiasat menyuapi para penguasa dengan apa?

Tentu saja dengan tawaran empuk yang menguntungkan secara pribadi ataupun kelompok penguasa. Hal ini akhirnya terpolarisasi sejak awal sebelum kontestasi bahkan melalui mekanisme politik yang tampaknya sederhana.

Si calon butuh modal, si perusahaan butuh lahan dan izin, sehingga si calon tersebut didanai aktivitas politiknya oleh si pemilik modal, baik itu oligarki maupun korporasi. Kemudian terjadilah neo-politic etis, dimana si calon jika terpilih menjanjikan sesuatu yang jelas menguntungkan para korporasi dan oligarki
 
Setelah terpilihnya si calon yang bercokol di bawah bayang-bayang oligarki, maka tak dapat dihindari romantisme penguasa dengan pengusaha yang semakin merekat dan langgeng melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan.

Dari sini, lupakan keberpihakan pada rakyat, lupakan soal pelayan untuk rakyat. Sudah sempurna belenggu kapitalisme atas negeri. Maka dimulailah kisah negeri dongeng yang menceritakan tentang antagonisme antara pemerintah dan rakyat.

Semua tergantung pada hukum yang digunakan, jika hukum konvensional yang diciptakan oleh sistem yang dianut penguasa adalah kapitalisme maka antagonis di sini adalah rakyat tak berdaya, tak punya uang apalagi kuasa. Siapa protagonisnya? Tentu saja oligarki yang mampu menyuapi kebutuhan perut penguasa.
 
Lantas, jika sudah begini apalagi yang hendak kita harapkan? Bila penguasa yang seharusnya menjadi pelayan bagi rakyatnya dan menegakkan hukum pada siapa saja yang zalim namun yang saat ini terjadi justru penguasalah yang menjadi pelaku kezaliman, bahkan tega berselir dengan korporasi dan oligarki.
 
Sampai di sini, semua sudah jelas bahwa rakyatlah yang menjadi korban. Rakyat yang tak punya pilihan selain menyerah dan berjuang untuk menyuarakan sistem hakiki yang dapat menggantikan sistem usang kapitalisme atau mati konyol di bawah bayang-bayang penjajahan penguasa negaranya sendiri.

Semua tergantung pada kesadaran rakyat terhadap akar masalah sebenarnya. Jika sudah begini kepada siapa lagi kita berharap kecuali kepada sang penguasa semesta?

*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya