Advokat pada Justitia Law Firm, Eko Haridani Sembiring/Ist
Hakim Tunggal praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dianggap hanya fokus terhadap prosedural, ketimbang melihat substansi perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dalam memutuskan permohonan Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri.
Hal itu disampaikan advokat pada Justitia Law Firm, Eko Haridani Sembiring menanggapi putusan Hakim Tunggal, Imelda Herawati terhadap permohonan praperadilan yang diajukan Firli Bahuri selaku pemohon, melawan Kapolda Metro Jaya selaku termohon.
Menurut Eko, putusan tidak dapat menerima permohonan praperadilan Firli karena dianggap obscur lantaran mencampuradukkan formil dengan pokok permohonan tersebut menunjukkan bahwa Hakim luput terhadap hal-hal substansi berkenaan dengan cara perolehan alat bukti/barang bukti, berikut penetapan tersangka, dalam pengujian praperadilan.
"Pengadilan melalui Hakim Tunggal seharusnya menjadi garda terakhir penjaga Hak Asasi Manusia (The Guardian of Human Rights)" kata Eko kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (21/12).
Eko mengatakan, secara filosofis, KUHAP didesain bukan semata-mata untuk menjalankan hukum pidana materiil. Akan tetapi lebih jauh dari itu, KUHAP didesain untuk menguji atau mempertanyakan seluruh kewenangan penegak hukum yang tengah berlangsung terhadap seorang tersangka melalui sensor HAM-nya.
"Hal tersebut merupakan sebagai upaya untuk melindungi soal HAM. Perlindungan tersebut harus diberikan dengan memegang teguh keadilan, karena melindungi HAM jauh lebih penting dibandingkan perlindungan yang sifatnya basa-basi prosedural semata," jelas Eko.
Melalui pemahaman dasar tersebutlah kata Eko, pranata lembaga praperdilan lahir dalam upaya untuk melindung HAM warga negara yang tengah berhadapan dengan kasus hukum yang melibatkan lembaga penegak hukum.
Dalam pengertian lain, kata Eko, jika seorang tersangka dituduh telah melakukan suatu tindak pidana dengan publikasi yang cukup besar, maka secara logika hukum orang tersebut sudah seharusnya juga diberikan hak-haknya secara maksimal untuk menguji atau mempertanyakan keseluruhan proses hukum yang menimpanya.
"Hal tersebutlah yang 'luput' dalam perkara praperadilan Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri, di mana basa-basi prosedural mengalahkan yang substansi. Perspektif HAM seketika itu menjadi layu dalam putusan yang dinyatakan No. Sekelas Ketua KPK saja, pemenuhan HAM tidak berlangsung secara maksimal. Apalagi rakyat kebanyakan yang buta hukum, miskin, dan tertindas," pungkas Eko.