Berita

Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Hasyim Asyari/RMOL

Publika

KPU Langgar UU Pemilu karena Hapus Debat Cawapres: Melindungi Gibran?

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
SABTU, 02 DESEMBER 2023 | 18:38 WIB

MAJALAH TEMPO menyebutnya ‘Anak Haram Konstitusi’. Merujuk tiket pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden 2024 yang terbukti melanggar moral, etika, dan hukum, oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu Anwar Usman, sekaligus paman Gibran.

‘Perlindungan’ kepada Gibran sepertinya tidak berhenti sampai di situ. Gibran tampaknya akan terus ‘dikawal’ sampai proses Pilpres selesai. Karena Gibran masih sangat ‘mentah’. Kalau tidak dikawal, dipastikan akan menjadi blunder yang memalukan.

Mungkin karena alasan ini, KPU menghapus debat khusus Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024 ini. Demi membantu Gibran?

Sebelumnya, debat Calon Presiden terpisah dengan debat Calon Wakil Presiden. Ada debat khusus Calon Presiden yang tidak dihadiri Calon Wakil Presiden. Dan ada debat khusus Calon Wakil Presiden yang tidak dihadiri Calon Presiden.

Dengan demikian, masyarakat bisa menilai kualitas setiap Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang mengikuti kontestasi Pilpres.

Sekarang, di Pilpres 2024, KPU mengubah format debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden ini, dengan menghapus debat khusus Calon Wakil Presiden.

Keduanya dijadikan satu. Semua debat akan dihadiri oleh pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Tidak ada debat khusus antar Calon Presiden, atau antar Calon Wakil Presiden.

Ketua KPU, Hasyim Asyari beralasan, perubahan format dan penghapusan debat khusus Calon Wakil Presiden ini sudah sesuai Undang-undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Alasan KPU ini tidak benar. Alias bohong.

Karena, Pasal 277 ayat (1) UU Pemilu secara lengkap, ditambah dengan penjelasan, berbunyi: “Debat Pasangan Calon …. dilaksanakan 5 (lima) kali”, masing-masing dilaksanakan 3 (tiga) kali untuk Calon Presiden dan 2 (dua) kali untuk Calon Wakil Presiden.

Penjelasan UU Pasal 277 ayat (1) berbunyi: Yang dimaksud dengan debat Pasangan Calon dilaksanakan 5 (lima) kali adalah dilaksanakan 3 (tiga) kali untuk calon Presiden dan 2 (dua) kali untuk calon Wakil Presiden.

Oleh karena itu, menggabungkan debat Calon Presiden dengan debat Calon Wakil Presiden, atau menghilangkan debat khusus Calon Presiden, atau debat khusus Calon Wakil Presiden, tentu saja melanggar UU Pemilu ini, yang secara tegas memisahkan debat Calon Presiden sebanyak 3 kali dan debat Calon Wakil Presiden sebanyak 2 kali.

Artinya, perubahan format debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, dan penghapusan debat khusus Calon Wakil Presiden, untuk Pilpres 2024 harus dibatalkan karena melanggar UU Pemilu, dan melanggar konstitusi.

Format debat harus dikembalikan sesuai UU Pemilu, dengan 3 kali debat Calon Presiden dan 2 kali debat Calon Wakil Presiden.

KPU sebagai lembaga independen penyelenggara Pemilu seharusnya bersikap netral, jujur dan adil, serta tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon. Menghapus debat khusus Calon Wakil Presiden, dengan sengaja melanggar UU Pemilu, berarti KPU tidak lagi netral, dan telah bertindak untuk kepentingan salah satu pasangan calon.

Karena itu KPU melanggar perintah Pasal 22E ayat (1) UUD: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Sebagai konsekuensi, semua anggota KPU harus dinonaktifkan dan diberi sanksi, karena telah membahayakan proses Pemilu, demokrasi, dan masa depan bangsa.

Bagi Ketua KPU yang dengan sengaja telah melakukan pembohongan publik, melanggar UU dan konstitusi harus diberi sanksi seberat-beratnya, dan dilarang menduduki jabatan publik selamanya. Karena, pelanggaran konstitusi merupakan wujud pengkhianatan terhadap negara.

Rakyat menuntut, semua kerusakan demokrasi ini harus segera dihentikan. DPR harus memanggil KPU secepatnya, dan membatalkan Peraturan KPU tersebut yang melanggar UU Pemilu.

Akumulasi pelanggaran hukum ini bisa memancing kemarahan rakyat, yang bisa memicu chaos.

*Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Populer

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

UPDATE

Sri Mulyani Cuma Senyum Saat Ditanya Isu Mundur

Rabu, 12 Maret 2025 | 23:35

Guru Besar Unhas Marthen Napang Divonis 1 Tahun Penjara

Rabu, 12 Maret 2025 | 23:25

Tolak Wacana Reposisi Polri, GPK: Ini Pengkhiatan Reformasi

Rabu, 12 Maret 2025 | 23:19

Skema Kopdes Merah Putih Logistik Kawinkan Program Tol Laut

Rabu, 12 Maret 2025 | 23:17

Klarifikasi UI: Bahlil Belum Lulus!

Rabu, 12 Maret 2025 | 22:59

Danantara Tepis Resesi, IHSG Kampiun Asia

Rabu, 12 Maret 2025 | 22:47

Biadab, Mantan Kapolres Ngada Bayar Rp3 Juta Buat Cabuli Bocah

Rabu, 12 Maret 2025 | 22:23

Prabowo-Sri Mulyani Bukber

Rabu, 12 Maret 2025 | 22:17

Menag: Tambah Kuota Haji Gampang, Masalahnya Kita Siap Enggak?

Rabu, 12 Maret 2025 | 21:53

75 Tahun Kemitraan, Indonesia-Rumania Luncurkan Logo dan Forum Pariwisata

Rabu, 12 Maret 2025 | 21:52

Selengkapnya