Berita

Jurubicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aris Setiawan Yodi/Istimewa

Politik

Jubir TPN Ganjar-Mahfud: Program 1 Keluarga Miskin 1 Sarjana Paling Realistis Secara Anggaran

SENIN, 20 NOVEMBER 2023 | 16:26 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana yang ada dalam Visi-Misi pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD merupakan program paling konkret sekaligus paling realistis  dibanding program pendidikan paslon capres-cawapres lainnya. Baik dari sisi anggaran maupun capaian dalam memutus rantai kemiskinan.

Menurut Jurubicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aris Setiawan Yodi, program pendidikan yang ditawarkan paslon lain, seperti pemberian makan siang gratis, dinilai tidak realistis dan tidak mampu menjawab persoalan kemiskinan.

“Melalui Program 1 Keluarga Miskin 1 Sarjana ini Mas Ganjar dan Pak Mahfud menjawab semua mimpi seorang ibu, semua orang tua yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu untuk dapat melihat anaknya menjadi sarjana," ujar Aris Setiawan Yodi, dalam keterangannya, Senin (20/11).  

"Ketika sang anak berhasil menjadi sarjana, kelak ia akan mampu memperbaiki kualitas hidupnya, keluarganya, dan mengangkat derajat serta martabat keluarganya,” sambung Aris.

Dituturkan Aris, ide terkait program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini muncul dari refleksi dan pengalaman hidup Ganjar yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Dia menjalani dan memahami betul, ketika berhasil menjadi sarjana pertama di keluarganya, ia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sekaligus derajat dan martabat keluarganya.

“Saya sangat sepakat program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini dijadikan program prioritas, karena saya sangat relate dan punya pengalaman terkait itu. Jujur saya adalah anak pertama dan juga sarjana pertama di keluarga inti saya, bahkan di keluarga besar saya. Saya lulus tahun 2016 dari Fisipol UGM. Tidak berselang lama pada 2017 saya diterima bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional dengan gaji hampir Rp7 juta per bulan. Cukup jauh di atas UMR Jakarta saat itu yang ada di angka Rp3,3 juta per bulan,” tutur Aris.

“Menjadi sarjana membuka peluang setiap orang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ayah saya yang lulusan SMA hanya bekerja di bengkel dan sampai saya lulus kuliah, gajinya paling tinggi Rp3 juta per bulan (di bawah UMR Jakarta), maka dia perlu berutang sana sini untuk membiayai kuliah saya. Setelah jadi sarjana, dan mendapatkan pekerjaan yang layak, saya bisa berbagi ke orang tua, bahkan dengan pekerjaan saat ini sebagai peneliti bisa membantu membiayai sekolah dan kuliah adik. Menjadi sarjana benar-benar konkret dan terbukti mampu memutus mata rantai kemiskinan,” lanjut Aris.

Lebih lanjut Aris memaparkan, dari segi anggaran dan sasaran, program 1 keluarga miskin 1 sarjana sangat realistis dan konkret. Dari segi anggaran misalnya, jika sasarannya keluarga miskin, saat ini ada sekitar 10 juta keluarga miskin yang tercatat oleh pemerintah sebagai penerima PKH. Sementara itu, jumlah penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah yang dikhususkan untuk keluarga miskin pada 2023 jumlahnya hanya 994,3 ribu mahasiswa.

Dengan asumsi 10 juta keluarga miskin itu semuanya memiliki anak yang memenuhi syarat usia untuk kuliah, artinya pada 2023 negara hanya menyekolahkan tidak sampai 10 persen mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.

Aris pun coba menghitung, kalau ada 10 juta mahasiswa dari keluarga miskin yang akan dibiayai negara sampai sarjana, biaya hidup per bulan Rp1 juta x 12 bulan, maka total biaya Rp12 juta per tahun.

Lalu biaya Rp12 juta per tahun ini dikali 10 juta mahasiswa, maka jumlah anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp120 triliun per tahun. Jumlah itu masih ditambahkan dengan biaya UKT Rp8 juta per tahun 2 semester) atau total Rp80 triliun.

"Jadi, Rp120 triliun ditambah Rp80 triliun sama dengan Rp200 triliun, itu total anggaran yang dibutuhkan negara untuk menyekolahkan minimal satu anak (mahasiswa) dari seluruh keluarga miskin yang ada di Indonesia,” jelasnya.

Jumlah anggaran tersebut dinilai Aris masih sangat realistis jika melihat alokasi APBN 2023 untuk pos pendidikan yang mencapai Rp600 triliun. Dari jumlah itu, Rp237,1 triliun adalah alokasi untuk beasiswa PIP (SD-SMA) dan KIP Kuliah, serta tunjangan guru non-PNS.

Kemudian Rp305,6 triliun alokasi itu untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke daerah, untuk sekolah hingga PAUD. Sementara Rp69,5 triliun sisanya untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan.

“Kalau per tahun butuh Rp200 triliun untuk menguliahkan minimal 1 anak dari 10 juta keluarga miskin, itu penyesuaiannya sangat masuk akal dari total Rp600 triliun anggaran pendidikan di APBN. Nah, kalau program dari paslon lain yang misalnya kasih makan siang dan susu gratis semua siswa di sekolah itu yang tidak realistis, wajar kemarin ada ulama kampung di Malang yang menolak program itu,” ujar Aris.

“Coba kita hitung-hitungan, misalnya satu porsi nasi ayam atau ikan ditambah susu di Jakarta sekitar Rp25 ribu. Di Indonesia menurut BPS ada 57,98 juta siswa dari TK-SMA/SMK. Jika dikalikan per hari butuh Rp1,5 triliun. Dikalikan lagi jumlah efektif hari siswa sekolah per tahun itu menurut Kemendikbud rata-rata 255 hari, sehingga Rp1,5 triliun x 255 hari, total dibutuhkan Rp369,6 triliun per tahun untuk kasih makan siang gratis dan susu kepada siswa di Indonesia,” lanjut Aris.

Jumlah anggaran sebanyak itu, menurut Aris, terlampau besar. Karena artinya ada lebih dari 60 persen anggaran pendidikan nasional di APBN yang akan tersedot hanya untuk makan siang gratis siswa TK-SMA.

"Lantas, bagaimana untuk anggaran BOS ke daerah? Tunjangan guru non-PNS? Beasiswa untuk ke tingkat sarjana? Dana abadi untuk riset? Jumlahnya pasti akan dikurangi jika anggaran makan siang gratis tetap dan tampaknya akan pasti bersumber dari APBN," terangnya.

“Memberi makan siang gratis tidak jelas target apa yang ingin dicapai. Hal itu juga tidak konkret memutus rantai kemiskinan, karena tidak ada jaminan siswa yang diberi makan siang gratis akan dibiayai kuliahnya. Artinya, tidak ada efek mengurangi kemiskinan dari program pendidikan tersebut. Wajar jika kemarin program tersebut kemarin ditolak oleh kiai Kampung di Malang,” demikian Aris.

Populer

Bey Machmudin akan Serius Tangani Judi Online di Jabar yang Tembus Rp3,8 T

Rabu, 26 Juni 2024 | 18:20

Bey Machmudin Ingatkan Warga Jangan Coba-coba Mengakali PPDB

Selasa, 25 Juni 2024 | 03:45

Wacana Bey Machmudin Rombak Komisaris BUMD Didukung Dewan

Minggu, 30 Juni 2024 | 13:24

Menwa Siap Kerahkan 5 Ribu Personel ke Gaza Bersama TNI

Rabu, 26 Juni 2024 | 01:19

DPR Khawatir Investasi TikTok Permudah Produk China Masuk RI

Kamis, 27 Juni 2024 | 00:03

Pemilu Iran di Jakarta

Jumat, 28 Juni 2024 | 14:24

Rapat Pimpinan MPR RI dengan Presiden Jokowi

Jumat, 28 Juni 2024 | 16:37

UPDATE

Aktif Organisasi, Alasan PP Satria Dukung Marshel Widianto Maju Pilwalkot Tangsel

Jumat, 05 Juli 2024 | 16:05

Komisi VI DPR: PNM Jangan Buat Bayar Kredit Macet

Jumat, 05 Juli 2024 | 16:03

PSI Bantah Batasi Ruang Koalisi Jelang Pilkada 2024

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:55

Syahrul Yasin Limpo Minta Divonis Bebas

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:51

Ekonomi Hijau Bisa Stabilkan Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:47

Massa SDR Desak KPK Periksa Kepala Bapanas dan Kabulog

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:45

Kehangatan Megawati

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:35

Kaesang Anggap Pemecatan Hasyim sebagai Keputusan Terbaik

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:22

AO PNM Mekaar Ambon Bekas Atlet Silat Sukses Genjot Ekonomi Warga

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:15

Syahrul Yasin Limpo Merasa Dikhianati Ajudannya

Jumat, 05 Juli 2024 | 15:06

Selengkapnya