Bakal Cawapres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Gibran Rakabuming Raka, mengampanyekan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai produk unggulan dari pemerintah Jokowi.
Kredit bunga murah ini dibanggakan dan dikampanyekan sebagai program yang akan dilanjutkannya bersama Prabowo Subianto.
Pemerhati koperasi dan UMKM sekaligus Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses), Suroto mengungkapkan, bahwa KUR sejatinya justru menjadi beban fiskal negara.
“Beban fiskal berarti beban rakyat yang harus dibayar dari pajak dan lebih banyak menguntungkan bankir sebagai makelar program,” ujar Suroto kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/11).
Lanjut dia, pemerintah sejak 2007 sudah terapkan kebijakan kredit program yang bernama KUR. Tujuan awalnya untuk meningkatkan akses kredit kepada masyarakat kecil terutama yang memiliki kelayakan usaha untuk dibiayai (
feasible), namun tidak memiliki jaminan yang cukup untuk dapat dipercaya bank (
bankable).
“Kebijakan KUR di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terapkan sistem subsidi Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan persentase tertentu dalam bentuk penjaminan kepada bank/lembaga keuangan penyalur jika terjadi kemacetan pinjaman atau Non Performance Loan (NPL) dari nasabah KUR,” jelas dia.
Berdasarkan data yang diperolehnya, persentase kredit macet yang disubsidi dari total penyaluran KUR sebesar 3.25 persen. Realisasi kebijakan KUR selama 7 tahun (tahun 2007-2014) sebesar Rp178 triliun dengan alokasi subsidi IJP dari APBN kepada bank sebesar Rp5,02 triliun.
“Di era Presiden Jokowi sistem kebijakan KUR dirombak. Program KUR dijadikan sebagai salah satu program primadona pemerintah,” tuturnya.
“Sejak 2015, bank penyalur tak hanya mendapatkan subsidi IJP yang dananya dimasukkan Pemerintah ke PT. Jamkrindo dan PT. Askrindo sebagai lembaga penjamin dalam bentuk Dana Penempatan, namun juga mendapat subsidi bunga yang besarannya terus berubah,” ungkap Suroto.
Dengan demikian, sambung dia, pada tujuh tahun era Jokowi hingga tahun 2022, realisasi penyaluran KUR sebesar Rp1.330 triliun. Meningkat tujuh setengah kali lipat dari jumlah tahun yang sama di era SBY.
“Melalui kebijakan KUR, bank sebagai lembaga penyalur program sesungguhnya selama ini yang meraup untung dari subsidi yang berasal dari uang negara, yang bersumber dari pajak yang dibayar masyarakat. Jumlahnya, tak tanggung tanggung, setiap tahunnya mencapai angka puluhan triliun dan terus dinaikkan besarannya,” beber dia.
Masih kata Suroto, program KUR ini berbeda dengan model penyaluran program pemerintah seperti biasa dengan model
channeling, di mana uang negara disalurkan langsung kepada masyarakat dan lembaga keuangan hanya berperan murni sebagai perantara saja.
“Uang yang disalurkan bank/lembaga keuangan penyalur KUR menggunakan uang mereka sendiri, namun mendapatkan subsidi sebesar persentase tertentu dari uang yang mereka salurkan sesuai ketentuan yang diatur pemerintah,” ungkapnya lagi.
Suroto menambahkan, pemerintah juga menetapkan batas penyaluran bunga kredit pada tahun 2023 adalah sebesar 3 dan 6 persen. Ini artinya bank masih akan menerima pendapatan bunga sebesar 3 hingga 6 persen yang dibayar oleh nasabah.
“Jika biaya modal rata rata bank penyalur adalah 3 persen maka subsidi negara menjadi pendapatan bersih bank/lembaga keuangan penyalur,” urainya.
Dia mencontohkan, BRI sebagai bank terbesar yang menyalurkan KUR. Jika dibuat rata rata dalam 3 tahun terakhir sebesar 68 persen. Artinya untuk BRI sendiri pada tahun 2023 akan menikmati keuntungan bersih dari subsidi negara sebesar Rp30,7 triliun dari program KUR.
“Di tengah narasi glorifikasi terhadap sukses program KUR yang selalu diekspos pemerintah dalam membantu rakyat kecil, dari skema kebijakan yang diterapkan, sebetulnya justru lebih banyak menguntungkan bank sebagai makelar program ketimbang masyarakat kecil yang seharusnya jadi target sasaran program,” pungkasnya.