KONSTITUSI Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 mengatakan “Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya Negara Indonesia adalah berlandaskan hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtstaat). Hukum memiliki kedudukan yang tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga semua warga negara, termasuk pemerintah, harus tunduk pada hukum.
Sejalan dengan negara hukum yang diterapkan Indonesia lewat konstitusi yang dibentuk, menurut Julius Stahl, ciri dari negara hukum adalah, pertama, pengakuan hak asasi manusia (grondrechten bescherming). Kedua, pemisahan kekuasaan negara (trias politica), ketiga, pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur), dan keempat, adanya peradilan tata usaha negara (bijzondere administratieve rechtspraak).
Apabila ditarik jauh ke belakang, konsepsi negara hukum dan pembagian kekuasaan tentu tidak bisa lepas dari pemikiran Montesquieu. Ia mengajukan teorinya bersamaan dengan berkembangnya Revolusi Prancis akibat kesewenang-wenangan dan tirani Raja Louis.
Teori Montesquieu ini dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengurai benang kusut konflik kekuasaan antara raja dengan parlemen, yang terjadi pada abad ke-17. Menurut Montesquieu, seperti dikemukakan dalam bukunya yang terkenal "De L'Esprit de lois" (1748), kekuasaan pemerintahan dapat dibagi atau dipisahkan menjadi beberapa jenis.
Pertama, kekuasaan legislatif, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan hukum-hukum yang sifatnya mengatur masyarakat umum. Kedua, kekuasaan eksekutif, yang memiliki kewenangan terkait dengan implementasi dan penegakan hukum. Ketiga, kekuasaan yudikatif, yang memiliki kewenangan terkait dengan penyelesaian sengketa yang timbul akibat diterapkannya hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003, melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan MK ini merupakan salah satu hasil dari reformasi ketatanegaraan yang dilakukan di Indonesia pada 1998. Usulan terhadap pembentukan MK di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat Mohammad Yamin yang mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk "membanding undang-undang". Namun, usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa kewenangan hakim untuk menguji undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada masa Orde Baru, ide pembentukan MK kembali muncul. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan Komisi Yudisial (KY) pada tahun 2000. KY merupakan lembaga yang bertugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, termasuk hakim konstitusi. Pembentukan MK secara resmi dilakukan melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Perubahan ini memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
MK memiliki kedudukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi, Pertama, 1945: Mohammad Yamin mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk "membanding undang-undang". Kedua, 1998: Reformasi ketatanegaraan di Indonesia mendorong pembentukan MK. Ketiga, 2000: Komisi Yudisial (KY) dibentuk. Keempat, 2002: Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan. Dan pada 2003: MK resmi dibentuk.
Melihat sejarah dibentuknya MK tidak lepas perdebatan yang panjang para ahli hukum di Indonesia dan adanya fenomena diturunkannya rezim otoritarianisme Orde Baru oleh rakyat Indonesia yang disebut dengan era reformasi. Tentu amanat reformasi adalah menghapuskan segala bentuk pengaturan negara yang berlandaskan mekanisme kesewenang-wenangan hingga tidak patuh terhadap hukum.
Dan upaya amanat reformasi adalah salah satunya dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 hingga melahirkan lembaga kekuasaan kehakiman baru yaitu Mahkamah konstitusi pada 2003 dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Seiring dengan momentum perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada era reformasi, usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia diterima keberadaannya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan UUD 1945 dalam bentuk undang-undang.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan MK adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU MK, kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dengan serangkaian kewenangan dan kewajiban tersebut, dalam perjalanan waktu kehadiran MK sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi dominan kerja MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan ide awal pembentukan MK.
Sejak berdiri pada 2003 sampai 2022, MK meregistrasi 3.463 yang terdiri dari 1603 perkara pengujian Undang-undang, 29 perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), 676 perkara perselisihan hasil pemilihan umum, dan 1.113 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Data Konferensi Pers MK 2022).
Kekuasaan kehakiman saat ini diemban oleh dua lembaga yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945, sangatlah diperlukan karena amandemen UUD 1945 telah menyebabkan UUD 1945 kedudukannya sebagai
staat fundamental norm yang di dalamnya kewenangan lembaga-lembaga negara diatur, artinya segala persoalan kenegaraan harus didasarkan dan bersumber dari UUD 1945 tersebut, selanjutnya MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi dan kedudukan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 adalah sederajat, serta masing-masing lembaga negara mempunyai kewenangan sesuai dengan fungsinya yang diberikan oleh UUD 1945.
Untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan secara hukum tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945, maka diperlukan suatu tata cara hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Oleh karenanya kewenangan MK untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang kewenangan diberikan oleh UUD 1945 adalah dimaksudkan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 karena dari hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul.
Pengujian Peraturan Perundang-undanganSalah satu kewenangan MK yang diberikan oleh amandemen UUD 1945 dan UU MK adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam UU MK ditegaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang salah satunya adalah perorangan warga negara Indonesia. MK juga telah membuat kualifikasi kerugian konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji harus dipenuhi lima syarat yang bersifat kumulatif.
Pertama, adanya hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang sedang diuji.
Ketiga kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan sebab-akibat (
causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Dan kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pada 16 Oktober 2023, MK mengeluarkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil dan materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan yang menguji batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa ketentuan batas usia capres-cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun.
MK berpendapat, ketentuan batas usia tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketentuan tersebut tidak memiliki hubungan kausal dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, yaitu harus memiliki pengalaman politik dan pemerintahan.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa ketentuan batas usia tersebut bersifat diskriminatif. Ketentuan tersebut membatasi hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Sehingga dalam putusan ini MK dapat dikatakan memutuskan permohonan dengan status putusan bersyarat.
Pada hakikatnya MK menjadi pencipta hukum meskipun tidak melalui proses legislasi (
negative legislator), karena memang bukan kompetensi MK. Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan bersyarat baik konstitusi bersyarat maupun inkonstitusi bersyarat digunakan berdasarkan ketentuan positif tidak ada pengaturannya. Namun terdapat karakteristik di dalam putusan yang menyatakan konstitusi bersyarat maupun inkonstitusi bersyarat.
Karakteristik Kedua putusan tersebut terlihat pada pertimbangan hakim dan amar putusannya. Karena kedua putusan tersebut memberikan syarat dan makna kepada addressat putusan MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu ketentuan Undang-undang dengan memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Varian putusan tersebut merupakan penafsiran fungsional yang memposisikan hukum sebagai suatu sistem harmonis, yaitu adanya keterkaitan dan kesesuaian baik secara horizontal dengan sesama undang-undang maupun secara vertikal dengan peraturan dibawahnya atau peraturan yang lebih rendah.
Berdasarkan putusan tersebut, maka batas usia capres-cawapres di Indonesia menjadi 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu atau pilkada.
Putusan MK tersebut telah menimbulkan berbagai tanggapan, baik pro maupun kontra. Beberapa pihak menilai bahwa putusan tersebut merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, terutama generasi muda. Pihak lain menilai bahwa putusan tersebut merupakan langkah yang berbahaya karena dapat membuka peluang bagi dinasti politik untuk berkuasa.
Indikasi Ketuk Palu Dinasti Politik Sebagai lembaga kekuasaan negara yudikatif MK sejak adanya perkara permohonan batas usia capres dan cawapres pada pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah menuai berbagai kontra pemikiran. Bahwa kewenangan syarat usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu adalah wilayah kekuasaan negara eksekutif dan legislatif yaitu Pemerintah dan DPR dengan bentuk Open Legal Policy. Sehingga dalam perdebatan panjang menuju putusan MK tersebut mahkamah tidak dapat memproses permohonan para pemohon karena bukan wilayah kompetensi peradilan MK.
Selanjutnya kejanggalan muncul dari dalam internal MK yang di mana maksud penentuan usia bagi capres dan cawapres pernah disampaikan oleh salah satu pemohon, yang mana arah dari putusan MK akan memberikan karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjadi WaliKota Surakarta dan sekaligus keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman.
Sejalan dengan segala kejanggalan yang menjadi analisis berbagai pihak dibacakannya putusan MK,
dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim MK menyatakan bahwa putusan MK terkesan lama dan cenderung tidak seperti biasanya.
Kedua, Ketua MK yang awalnya tidak pernah ikut dalam proses Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH) Putusan Perkara No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang ditolak oleh MK, tetapi tiba-tiba hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.
Kejadian ini mencerminkan adanya konflik kepentingan dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.
Seharusnya, dalam perkara permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 putusan MK dapat dibatalkan dan Anwar Usman tidak boleh ikut dalam RPH hakim MK seperti di putusan perkara sebelummya. Karena perkara yang dihadiri Anwar Usman secara tiba-tiba ada hubungan kekeluargaan yaitu adik ipar Jokowi, yang artinya ia adalah paman dari Gibran.
Sementara itu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa,
nemo iudex in causa sua. Seyogyanya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023. Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.
Dasar analisis peraturan perundang-undangan pembatalan dari putusan MK uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 menurut penulis sudah tertuang dalam aturan tertulis di berbagai peraturan.
Pertama, tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi klausul prinsip ketidakberpihakan point 5 yang isinya “Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:
a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”.
Kedua, Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 ayat 5 mengatakan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara".
Ayat 6, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.”
Dan ketiga kekuasaan kehakiman mengikat kepada MK seusai dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 Bab Sembilan Kekuasaan Kehakiman Pasal 24a Mahkamah Agung dan Pasal 24c Mahkamah Konstitusi.
Maka dalam ketukan palu putusan MK yang mengarah kepada praduga dinasti politik mencederai amanat reformasi. Salah satu produk reformasi adalah adanya lembaga peradilan independen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya.
Pada awal pembentukannya, MK diharapkan untuk memperhatikan secara serius ide awal dari Hans Kelsen, filsuf hukum dari Austria, yang menghendaki agar MK mampu menjadi penjaga konstitusi (
the guardian of constitution) dari kesewenang-wenangan institusi-institusi politik seperti Presiden dan lembaga legislatif yang kerap berjalan secara disfungsional.
Sayangnya, banyak berbagai kalangan menilai putusan MK tersebut bagian dari upaya untuk memberikan ruang golongan muda menjadi pemimpin di negeri ini. Penulis menilai ini konteks yang berbeda, problem konstitusi dan peluang pemuda untuk hadir sebagai pemimpin negeri ini jangan dicampur adukkan. Perjuangan pemuda dalam memperjuangkan reformasi berharap terhadap produk reformasi tersebut kini mulai padam dan mati.
MK tampaknya telah gagal menjadi lembaga peradilan yang independen. Padahal lembaga peradilan yang independen adalah salah satu syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum. MK perlu merefleksikan dan menghukum oknum hakim yang gagal menjawab tuntutan reformasi. Lembaga peradilan seharusnya bebas dari semua tekanan, termasuk tekanan politik.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia