Menyandang status sebagai negeri agraris, posisi petani teramat penting bagi Indonesia. Perannya bukan saja menjadi tulang punggung ketahanan pangan, tetapi juga sebagai penentu kebijakan politik nasional.
Dalam belantika sejarah Indonesia, sejak masa prasejarah dan kerajaan, tidak lepas dari hiruk pikuk dan pergolakan petani. Profesi yang selalu menempati posisi terbawah dalam struktur sosial masyarakat, namun gerakannya tak bisa dianggap sebelah mata.
Sartono Kartodirdjo (1984) mengupas gerakan petani di Indonesia dan umumnya di Asia lebih menonjolkan gagasan-gagasan atau simbol-simbol gerakan, seperti akan datangnya Ratu Adil yang merupakan manifestasi dari gerakan
milenari atau
mesianik.Mulai dari masa Mataram Kuno hingga masuknya Islam, gerakan petani sebagai grassroot selalu mewarnai peralihan kekuasaan di tataran kaum elite (bangsawan).
Masuki era kolonial hingga masa pergerakan nasional, petani pun kerap terseret dalam arus-arus perlawanan menentang penjajahan. Hal itu dikupas Kuntowijoyo dalam buku
Petani, Priyayi dan Mitos Politik.
Secara tajam, sosiolog ternama Indonesia itu membahas radikalisasi petani ditinjau dari segi sejarah, mulai dari petani, para priyayi, politisi, pedagang, ulama, dan rakyat kecil, yang semua berjuang untuk mempertahankan martabatnya.
Analisis atas konflik-konflik sosial, rekayasa politik atau budaya, perubahan kebijakan, perlawanan budaya dan politik, serta bagaimana strategi diplomasi dalam berjuang diurai Kuntowijoyo dalam buku tersebut. Akhirnya ada suatu approach, yang melekatkan fenomena radikalisasi petani di masyarakat pedesaan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Masuknya pemikiran Marxisme ke Indonesia, akhirnya membuat ciri khas yang melekat dalam Sejarah gerakan petani abad 20. Para tokoh nasional yang terinspirasi dengan Gerakan kiri, mengonsepkan petani sebagai ujung tombaknya.
Bung Karno misalnya, konsep revolusinya turut menjadikan petani sebagai objek perjuangan. Kisah Marhaen, seorang petani muda di Bandung terus melegenda hingga akhirnya menjadi suatu paham perjuangan dari murid HOS Tjokroaminoto itu, dengan nama Marhaenisme.
Memasuki era kemerdekaan, peran petani sebagai pilar perjuangan bangsa kian dihembuskan oleh para tokoh nasional. Barisan Tani Indonesia (BTI) berdiri pada 25 November 1945 di Yogyakarta. Kelompok ini menuntut agar adanya perubahan hak konversi. Seiring berjalannya waktu, kelompok ini kerap diidentikan sebagai underbow PKI karena kiprahnya yang progresif dalam Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah, serta konflik-konflik lahan lainnya di berbagai daerah, di awal berdirinya Republik Indonesia.
Tan Malaka dalam buku
Merdeka 100% pun mengupas percakapan politik antara perwakilan elemen bangsa. Sosok Si Pacul sebagai wakil kaum tani, tak hentinya berdebat mengemukakan pandangannya tentang makna kedaulatan dalam perpolitikan nasional. Si Pacul terus berdebat melalui argumentasinya dengan para rival sekaligus mitra perjuangan, yakni Mr. Apal (wakil kaum intelegensia), Si Toke (wakil pedagang kelas menengah), Denmas (wakil kaum ningrat), dan Si Godam (wakil buruh besi).
Dengan demikian, ada kesan bahwa suara rakyat bagi Indonesia merupakan suara petani, yang merupakan jumlah profesi terbesar di kepulauan Zamrud Khatulistiwa ini.
Sebagai seorang Proklamator kemerdekaan bangsa, Bung Karno pun mengangkat kisah marhaen menjadi lebih konkret dalam bentuk kebijakannya, saat menjabat Presiden RI. Dimulai dengan mendirikan Fakultas Pertanian di Bogor (Institut Pertanian Bogor-IPB), Bung Karno menegaskan bahwa masalah pangan adalah hidup matinya suatu bangsa.
Dia pun mengajak pemuda-pemudi Indonesia agar menjadi insinyur pertanian, ahli peternakan, ahli irigasi, ahli seleksi benih, ahli pemupukan, ahli pemberantas hama, ahli tanah, dan lain-lain. Semua itu untuk kemajuan pertanian.
Pesan tersirat lainnya ialah Bung Karno menghendaki adanya kemandirian pangan, yang coba menghindari impor beras dari negara lain. Variabel pencapaian itu harus ditopang oleh lahan dan SDM pertanian yang mumpuni. Berlanjut pada 1960, Indonesia menghadapi krisis beras. Harga beras tetap tinggi. Namun, penyebabnya bukan semata-mata karena kurangnya produksi, tetapi juga karena kenaikan harga bensin dan minimnya lahan.
Dikumandangkannya Deklarasi Ekonomi (Dekon) tahun 1960, masalah beras menjadi perhatian penting. Guna meningkatkan produksi beras, maka ditempuhlah kebijakan di antaranya mengekstensifkan pertanian dengan menambah areal dan transmigrasi, mengintensifkan pertanian dengan mekanisasi dan memperbaiki cara-cara bercocok tanam, dan menyempurnakan pelaksanaan
landreform agar dapat diselesaikan pada waktunya sebagaimana ditetapkan oleh MPRS.
Kelanjutan dari konsep itu, pada 24 September 1960, pemerintah mengeluarkan UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Semangat
landreform menjiwai UUPA ini, yang dipertegas dengan klausul tanah untuk rakyat. Di lain sisi, BTI atas nama
landreform gencar melakukan aksinya menyerobot tanah milik bangsawan, sehingga tercatat beberapa kali terjadi konflik lahan hingga 1965.
Hari ditetapkannya UUPA pun menjadi momen dalam menggelorakan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, menjadi Hari Tani Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963.
Di Masa orde baru, ada berbagai perubahan kebijakan di bidang pertanian. Pada 1974 dibentuk Badan Litbang Pertanian berdasarkan Keppres tahun 1974 dan 1979. Tak ketinggalan, pemerintah juga mendirikan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HKTI pada 27 April 1973 di Jakarta melalui penyatuan empat belas organisasi penghasil pertanian utama.
HKTI bertujuan meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, harkat dan martabat insan tani, penduduk pedesaan dan pelaku agribisnis lainnya, melalui pemberdayaan rukun tani komoditas usaha tani dan percepatan pembangunan pertanian serta menjadikan sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
Dalam perjalanannya, HKTI kerap disebut-sebut sebagai sayap Golkar. Di MPR, HKTI juga selalu mendapat porsi sebagai utusan golongan yang dianggap mewakili kaum tani. Politik pangan Soeharto juga menempatkan posisi petani sebagai pilar yang mampu mewujudkan swasembada beras di 1980-an. Kehidupan petani pun dimanjakan dengan hadirnya Koperasi Unit Desa (KUD).
Hingga era saat ini, organisasi petani kerap terlibat dalam momentum politik lima tahunan. HKTI pun terpecah menjadi dua kubu. Selain itu, lahir puluhan organisasi petani di berbagai daerah. Seluruh partai dan bakal calon apapun melirik kaum bertopi caping ini.
Menurut data BPS, sedikitnya ada 40,69 juta orang yang bekerja di sektor pertanian. Namun, jumlah tersebut tak hanya fokus pada profesi petani, tapi termasuk pekerjaan lain yang masih berkaitan dengan sektor pertanian. Memang tak ada data pasti mengenai jumlah petani di Indonesia. Namun, profesi ini tetap menjadi sasaran empuk kampanye para calon dari tingkat Pilpres hingga Pilkades.
Bahkan isu pertanian yang menyangkut ketahanan pangan pun kerap menjadi perlombaan para kandidat. Teranyar, ada isu
food estate yang menyeret nama salah satu bakal capres. Selain itu, ada juga isu harga bahan pokok yang menjadi ajang para kandidat menyampaikan programnya.
Pada akhirnya ancaman krisis pangan menjadi tabu antara ada dan tiada. Setiap pihak mengeluarkan argumen yang berbeda dari sudut pandangnya masing-masing. Yang pro pemerintah tentu memandang suatu prestasi dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Sedangkan dari pihak oposisi tentu terus membombardir kegagalan pemerintah dalam merawat ketahanan pangan.
Terlepas polemik yang berlarut-larut itu, sudah sejatinya setiap komponen bangsa bersatu padu, gotong royong menghadapi ancaman krisis pangan. Tentunya, bukan hanya Indonesia yang terancam dengan krisis ini, melainkan masyarakat dunia.
Faktornya banyak, mulai dari jumlah penduduk bumi yang terus bertambah, sementara lahan pertanian kian menyempit. Belum lagi adanya perubahan cuaca yang tak menentu, sehingga kekeringan terjadi di mana-mana. Artinya, ancaman krisis pangan benar-benar nyata dan jadi keniscayaan, entah berapa tahun lagi?
Untuk saat ini alangkah indahnya menghentikan segala politisasi petani dan pangan untuk kepentingan segelintir elite. Kendati itu sulit dan tak mungkin, namun yang namanya harapan dari kondisi ideal tentu tak masalah.
Mungkin untuk sebagian besar rakyat Indonesia, sudah tak peduli lagi dengan hiruk pikuk soal pencapresan, koalisi parpol, pendaftaran KPU dan lain-lain. Intinya mereka hanya berpikir bagaimana sandang, papan dan pangannya terpenuhi, harga bahan pokok murah, produksi pangan melimpah, serta hidup
gemah ripah loh jinawi, adil makmur sentosa. Mimpi yang sebenarnya mengandung kelelahan jiwa dari masyarakat agraris yang menanti Sang Ratu Adil.