Ketua Umum KAKI Arifin Nur Cahyono/Net
Di tengah aksi masyarakat Rempang sedang menuntut hak atas tanah mereka, muncul sebuah surat dari Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) kepada Jaksa Agung yang menyatakan bahwa penolakan relokasi tidak murni disuarakan penduduk Rempang.
Surat tertanggal 21 September 2023 tersebut bernomor 0802/KAKI/IX/2023, perihal dugaan tindak pidana penggalangan masa yang menyebabkan kerusuhan di Rempang, Batam.
Tujuan surat kepada Jaksa Agung RI, Sanitiar Burhanuddin dan ditembuskan ke Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Ketua KPK Firli Bahuri.
Ketua Umum KAKI Arifin Nur Cahyono membenarkan bahwa surat tersebut berasal dari pihaknya. Lewat surat tersebut, Arifin menjelaskan bahwa penolakan relokasi disampaikan sejumlah “oknum bayaran” dari luar Batam.
“Fakta ini terungkap usai polisi menangkap sejumlah provokator dalam aksi unjuk rasa di Rempang dan Batam, 7 dan 11 September 2023. Sejumlah provokator yang ditahan polisi terbukti positif mengonsumsi narkoba,” katanya sebagaimana isi surat yang dikirim kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (21/9).
Diuraikan bahwa aksi itu didanai oleh seorang pengusaha Batam berinisial BY, yang memiliki usaha tambak udang dan peternakan di Rempang. Pendanaan ini dilakukan karena BY dan beberapa pengusaha dari Singapura menolak keras Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City, demi hegemoni bisnis illegal mereka.
“BY dan kelompoknya membangun isu SARA, termasuk penggusuran hak masyarakat Melayu. Narasi ini menyesatkan. Proyek Eco City Pulau Rempang justru membawa dampak positif, termasuk penyerapan tenaga kerja lokal dan dampak ekonomis lainnya,” katanya.
Peta Lahan Pulau Rempang dan GalangKAKI mencatat, seluruh lahan Pulau Rempang dan Galang dikuasai pemerintah dan hak guna bangunan (HGB) belum keluar. Artinya, tidak benar jika swasta menguasai Pulau Rempang dan memperalat pemerintah, termasuk aparat keamanan.
Berdasarkan peta satelit landsat Rempang tahun 1990 hingga 2020, KAKI menyimpulkan bahwa terdapat penyesatan informasi terkait sejarah warga mulai menempati Rempang.
Pasalnya, pada tahun 1990 kondisi Rempang sepenuhnya hutan dan hampir tidak dihuni. Kemudian di tahun 2002 sudah mulai ada penduduk. Lahan yang digarap tidak sampai 10 persen dari total areal Pulau Rempang.
Pada tahun 2020 semakin banyak lahan sudah digarap, terjadi penembangan liar dan deforestasi.
“Fakta ini tidak sejalan dengan pengakuan sejumlah orang yang mengatakan bahwa Pulau Rempang sudah dihuni sejak tahun 1800-an, bahkan kini muncul informasi sudah dihuni sejak 1700-an,” terangnya.