Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina tahun 2009-2014, Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) di Gedung Merah Putih KPK, Selasa malam (19/9)/RMOL
Di masa pandemi Covid-19, PT Pertamina (Persero) seharusnya mengalami keuntungan dari pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) jika dikelola dengan baik. Sebaliknya, bukan mengalami kerugian mencapai Rp2,1 triliun.
Hal itu disampaikan langsung Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina tahun 2009-2014, Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA), setelah diumumkan sebagai tersangka dalam korupsi pengadaan LNG oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung Merah Putih KPK, Selasa malam (19/9).
Karen mengatakan, pengadaan LNG yang dimulai di eranya itu dilakukan berdasarkan Perpres 2006, Inpres 1/2010 dan Inpres 14/2014, dan surat UKP4 sebagai pemenuhan proyek strategis nasional.
"Kalau misalnya tadi bilang marak bahwa ada kerugian, kerugian itu diakibatkan karena masa pandemi di tahun 2020 dan 2021, akan tetapi sebetulnya, pandemi atau tidak pandemi, Pertamina harusnya untung. Karena berdasarkan dokumen yang ada, tahun 2018 bulan Oktober, Pertamina itu bisa menjual ke BP dan juga ke Trafigura dengan nilai positif 71 sen per mm litium," kata Karen kepada wartawan.
Menurut Karen, sejak 2009-2025, Pertamina seharusnya sudah untung Rp1,6 triliun jika dikelola dengan baik.
"Dan satu lagi yang ingin saya sampaikan, bahwa ini semua sudah dilakukan sebaik mungkin. Dan Pertamina pun tidak perlu rugi kalau memang menjalankan tender yang hasilnya di bulan Oktober 2018," jelas dia.
"Makanya tadi saya bilang, yang 2010-2011 yang tadi katanya rugi, tidak perlu rugi kalau itu dijalankan. Cuma saya tidak tahu, mungkin rekan-rekan media yang perlu tanya ke Pertamina, kenapa pada saat tahun 2018 bulan Oktober hasilnya sudah bagus, kenapa tidak dilaksanakan?" tegasnya.
Karen menilai, kerugian keuangan negara dalam pengadaan LNG seharusnya yang bertanggung jawab adalah Dirut yang menjabat pada Oktober 2018. Berdasarkan penelusuran, pada saat itu Dirut Pertamina sudah dijabat oleh Nicke Widyawati yang sudah menjabat sejak 19 April 2018.
"Saya tidak tau siapa pada saat itu yang menjabat di 2018. Saya sudah resign di tahun 2014," tegasnya saat ditanya siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab.
Sebelumnya, Ketua KPK, Firli Bahuri secara resmi mengumumkan Karen sebagai tersangka dan dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama di Rutan KPK. Dalam pengadaan ini, KPK menduga tersangka Karen telah merugikan keuangan negara mencapai Rp2,1 triliun.
"Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar AS yang ekuivalen dengan Rp2,1 triliun," kata Firli kepada wartawan di Gedung Juang pada Gedung Merah Putih KPK, Selasa malam (19/9).
Firli menjelaskan, pada 2012 PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia. Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009-2040, sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
Tersangka Karen kata Firli, kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
"Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, GKK alias KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero," jelas Firli.
Selain itu kata Firli, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan tersangka Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik, yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply, dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
"Atas kondisi oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero," pungkas Firli.