Ketua DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Syam Firdaus Jafba/Ist
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat dalam penyelesaian konflik agraria di Rempang, Kepulauan Riau, patut disesalkan. Konflik tersebut melibatkan warga sipil dan pihak pengelola Proyek Rempang Eco City beserta tim gabungan aparat penegak hukum dengan menggunakan cara yang tidak humanis.
Ketua DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Syam Firdaus Jafba, mengatakan, tindakan represif penegak hukum telah merusak asas penyelesaian konflik berkeadilan.
"Tindakan ini tidak hanya merugikan masyarakat yang berjuang untuk hak-hak mereka, tetapi juga merusak citra penyelesaian konflik yang transparan dan berkeadilan," ujar Syam Firdaus, dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9).
Dikatakan Syam, Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), seharusnya dalam pembangunannya dapat mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
Hendaknya, dia tekankan, setiap PSN harus mengacu kepada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
"Yang artinya, segala sesuatu yang dibangun harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dan sebaik-baiknya sudah melalui musyawarah dengan rakyat setempat atau masyarakat adat yang ada di wilayah PSN tersebut," terangnya.
Syam juga mempersoalkan SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, sebagai legitimasi dijadikannya kawasan tersebut kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG).
Dengan diberikannya Surat Keputusan HPL kepada BP Batam, kata dia, pemerintah nampak menghidupkan kembali konsep
domein verklaring yang memandang tanah sebagai milik negara.
Konsekuensinya, kata Syam lagi, pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, bisa mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat.
"Prinsip ini sebenarnya telah ditiadakan oleh Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Jadi pemerintan telah menyalahi UU Agraria yang disusun pemerintahan Bung Karno untuk mensejahterakan rakyat," tegasnya.
Untuk itu, Syam menegaskan soal pentingnya dialog dan negosiasi sebagai sarana utama dalam menyelesaikan konflik agraria.
"Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk segera membuka pintu dialog dengan warga Rempang dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik ini," pungkasnya.