Gedung Mahkamah Konstitusi/Net
Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak punya wewenang dalam mengubah norma batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (Capres-Cawapres).
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraeni menerangkan, norma batas usia Capres-Cawapres yang termuat dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).
"Pengujian UU Pemilu terkait batas usia ini kembali jadi ujian bagi Mahkamah Konstitusi setelah pengujian sistem Pemilu," ujar Titi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (24/8).
Menurutnya, uji materiil aturan batas usia Capres-Cawapres yang diajukan PSI dan beberapa individu masyarakat, patut disikapi MK seperti saat memutuskan uji materiil norma sistem Pemilu Proporsional Terbuka di UU Pemilu.
"Saat pengujian sistem Pemilu, MK mampu membangun kepercayaan publik yang kuat, bahwa MK tidak cawe-cawe pada substansi menyangkut kewenangan pembentuk undang-undang," tuturnya.
Berkaca pada perkara uji materiil sistem pemilu, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu memandang, isu konstitusional yang diangkat dalam pengujian norma batas usia Capres-Cawapres bisa ditegakkan melalui revisi UU Pemilu oleh DPR.
"Mengingat Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang secara eksplisit menempatkan soal syarat-syarat menjadi Capres dan Cawapres diatur lebih lanjut dengan UU, yang artinya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang," jelasnya.
Maka dari itu, Titi meyakini permohonan uji materiil batas usia Capres-Cawapres kecil kemungkinan dikabulkan MK, apalagi jika mengikuti langgam putusan MK sebelumnya. Seperti soal batas usia kepala daerah dan wakil kepala daerah, putusan soal sistem pemilu, ataupun putusan ambang batas pencalonan presiden.
Apalagi menurutnya, persoalan usia adalah ranah yang sangat teknis. Sehingga, akan sangat kontroversial apabila MK yang memutuskan pilihan angka persyaratan usia Capres-Cawapres.
"Mestinya, MK dalam putusannya menegaskan saja bahwa Capres-Cawapres itu harus dicalonkan melalui proses yang demokratis di internal partai. Misalnya melalui Pemilu internal yang melibatkan anggota dan pengurus. Bukan hanya ditentukan elite, apalagi sebatas ketum partai," sindirnya.
"Khusus pengujian Pasal 169 huruf q UU 7/2017 ini mestinya tak perlu ada keraguan bagi MK dalam memutus. Karena konstitusi sudah memberi batasan tegas melalui Pasal 6 ayat (2) UUD 1945," demikian Titi.