Wakil Ketua KPK Johanis Tanak/Net
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak merasa janggal dengan sikap sejumlah anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang mencari-cari kesalahan dirinya.
Johanis menjelaskan, hal ini bermula ketika Dewas KPK mengambil hasil kloning handphone Idris Sihite dari Deputi Informasi dan Data KPK.
Dari hasil kloning didapati 7 whatsapp, ada 3 yang langsung dihapus seketika itu juga, 2 whatsapp tidak dihapus. Namun bukannya dimusnahkan lantaran tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi justru oleh Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, Harjono dan Syamsuddin Haris dibawa ke sidang etik.
Padahal, mantan Kajati Sulawesi Tengah ini menjelaskan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 12D ayat 1 UU 19/2019 Tentang perubahan kedua atas UU KPK hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lalu dalam Pasal 12D ayat 2 menegaskan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh KPK, wajib dimusnahkan.
Namun sebaliknya, Whatsapp Johanis Tanak dengan Idris Sihite menyebar dan menjadi konsumsi publik, dan diunggah oleh salah satu akun di media sosial.
“Kalau hal itu dilakukan demi penyelidikan dan penyidikan silahkan. Tetapi ini tidak, kenapa dia ambil itu? Itukan termasuk ke dalam kualifikasi membocorkan rahasia negara. Perbuatan membocorkan rahasia negara diatur di dalam Pasal 112-115 KUHP,” kata Johanis Tanak di Jakarta, Minggu (20/8).
Seharusnya, kata Johanis Tanak, Dewas KPK mencari siapa yang membocorkan hasil kloningan handphone Idris Sihite sehingga menjadi konsumsi publik dan beredar di media sosial.
Menurut mantan Kajati Jambi ini, idealnya Dewas berkoordinasi dengan Pimpinan KPK untuk selanjutnya Inspektorat untuk mencari siapa pembocor hasil kloningan handphone Idris Sihite, bukan justru mempersoalkan Whatsapp dirinya kepada Idris Sihite. Selain tidak ada kaitannya dengan tidak pidana korupsi, Idris Sihite juga bukan seorang tersangka dalam kasus yang tengah ditangani oleh KPK.
“Kenapa ujug-ujug saya, seolah-olah Dewas mencari-cari kesalahan saya. Kenapa saya jadi terperiksa dalam masalah etik, seolah-olah saya bersalah,” ujarnya menyesalkan.
Kentalnya sejumlah anggota Dewas mencari-cari kesalahan, kata Johanis Tanak, dalam sidang kode etik, dimana ketua Dewas KPK Tumpak Hatarongan Penggabean dan Prof Indriyanto Seno Adji (ISA) tidak ikut menyidangkan.
“Menurut analisa saya, tentunya dia (Tumpak dan ISA) juga tahu bahwa hasil kloning dari hp Idris Sihite itu adalah rahasia negara sebagaimana diatur dalam UU KPK. Inikan rahasia negara, makanya mungkin itulah sebabnya mereka tidak mau terlibat hal itu,” ungkap Johanis Tanak.
“Dan Whatsapp itu juga sudah dihapus putus, dan apa tindaklanjutnya, tidak ada,” sambung dia menekankan.
Karena Dewas harus paham, bahwa di dalam Pasal 37B ayat 1 huruf d UU 19/2019 Dewas KPK bertugas menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik Pimpinan KPK dan Pegawai KPK.
Jikalau, kata dia, Dewas merujuk kepada Pasal 4 huruf b Peraturan Dewas No 4/2021 yang mengatur bahwa informasi pelanggaran berasal dari temuan, hal ini, jelas bertentangan dengan Pasal 37B ayat 1 huruf d UU 19/2019. Karena hirarki Peraturan Dewas lebih rendah daripada UU.
“Dalam teori ilmu hukum disebut bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentang dengan peraturan yang lebih tinggi atau biasa disebut Lex Superior Derogat Legi Imperior,” ungkap mantan Direktur B Intelijen Kejaksaan Agung ini.
Sementara itu, Idris Sihite, juga tidak terlibat dalam kasus Tunjangan Kinerja (Tukin) di Kementerian ESDM yang tengah ditangani oleh KPK. Pasalnya, Idris mendapat perintah untuk menjadi Plh Dirjen di Kementerian ESDM itu pada tahun 2022, sementara kasus Tukin terjadi pada tahun 2020-2022 sebelum Idris Sihite menjabat sebagai Plh Dirjen Minerba.
Penyelidikan kasus itu, sudah dimulai tahun 2020. Johanis Tanak menegaskan, dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a dan b mengatakan insan KPK dan pimpinan KPK tidak boleh berkomunikasi dengan orang yang telah menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana.
“Sampai saat ini Idris tidak pernah jadi tersangka, apalagi terdakwa. Tidak pernah diperiksa sebagai saksi pada saat saya Whatsapp itu,” pungkas Johanis Tanak.