Berita

Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Profesor Romli Atmasasmita/Net

Publika

OTT KPK dalam Kasus Suap Basarnas

OLEH: PROFESOR ROMLI ATMASASMITA*
SENIN, 31 JULI 2023 | 16:38 WIB

ASPEK hirarki dalam sistem peradilan berdasarkan UU 49/2009 benar, akan tetapi dari aspek historis, sosiologis, dan yuridis menjadi tidak benar seluruhnya disebabkan: 1) bahwa hukum selalu dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya; hukum yang dibentuk selama orde baru dan sejak orde reformasi 1998 berbeda.

Selama orde baru hukum hanya alat (tool) dari kekuasaan sedangkan hukum di masa era reformasi hukum adalah sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. 2) UU Peradilan Militer 1997 lahir. Ketika masa orde baru di mana militer memiliki kekuasaan lebih dari sipil dalam semua aspek kehidupan masyarakat.

Kekuasaan sipil lebih dominan antara lain dwifungsi ABRI ditiadakan dan pemisahan kekuasaan yudikatif dan eksekutif lebih tegas dan jelas antara lain, Ditjen badan peradilan dari Kementerian Kehakiman (dulu), dikembalikan ke MA,


3) Kewenangan absolut Pengadilan Militer atas peradilan anggota militer telah berubah dengan UU TNI tahun 2004 yang antara lain dalam Pasal 65 menyatakan jika anggota militer melakukan tindak pidana militer tetap di bawah peradilan militer, akan tetapi jika melakukan tindak pidana umum di bawah peradilan umum (pengadilan negeri).

Status tipikor yang dilakukan oleh anggota militer belum jelas di bawah peradilan yang mana. Kejelasan status hukum tersebut setelah pada tahun 1999 di tetapkan dua UU yaitu UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (UU KKN) dan UU 31/1999 tentang  Pemberantasan Korupsi.

Dalam UU KKN Pasal 2 tercantum 7 (tujuh) subjek hukum, salah satu di antaranya adalah Penyelenggara Negara (PN) yang memiliki fungsi strategis dalam penyelenggaraan negara, dan Kepala Basarnas termasuk salah satunya.

Korupsi sudah diakui dalam UU KKN dan UU Tipikor merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) di samping terorisme.

Narkoba dan transnational crimes lainnya sehingga diperlukan extraordinary measures antara lain pembentukan KPK, BNPT, BNN.

Di dalam Pasal 1 C UU Tipikor tentang pengertian Pegawai Negeri antara lain disebut setiap orang yang memperoleh upah dari keuangan negara atau keuangan daerah; salah satunya adalah anggota TNI.

Merujuk pada ketentuan pasal 1 angka 7 UU KKN dan Pasal 1c UU Tipikor semakin jelas bahwa penetapan status tersangka korupsi atas nama dua anggota TNI kasus suap peralatan Basarnas dan perbuatannya telah memenuhi bukti permulaan yang cukup sesuai Pasal 183 KUHAP.

Kedua UU tersebut, UU KKN dan UU Tipikor dan UU TNI 2004 disahkan setelah UU Peradilan Militer tahun 1997, sejalan dengan asas hukum yang diakui dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu asas lex posteriori derogat lege priori (UU yang ditetapkan kemudian dapat mengenyampingkan UU yang disahkan kemudian jika terdapat ketentuan yang bertentangan satu sama lain).

Dalam hal UU Peradilan Militer dapat dikesampingkan oleh tiga UU tersebut. Selain aspek historis dan sosiologis, dan aspek yuridis; doktrin hukum pidana selain asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) juga sistem hukum pidana menganut prinsip daadstrafrecht, artinya hukum pidana hanya berlaku terhadap perbuatan (manusia); tidak pada status sosial pelakunya.

Berdasarkan UU Tipikor institusi satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan TIPIKOR  hanya KPK dan Kejaksaan “tidak institusi lainnya”. Begitu dalam hal “wewenang peradilannya hanya pengadilan khusus tipikor”, bukan wewenang peradilan lainnya.

Keberadaan pengadilan khusus tipikor merupakan species sedangkan peradilan umum merupakan genus dan sejalan dengan pasal 63 KUHAP, ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.

Polemik OTT KPK terhadap anggota militer terletak pada masalh koordinasi yang tidak berjalan baik sebagaimana ketentuan Pasal 42 UU KPK dimana KPK bukan hanya koordinasi tetapi supervisi tetapi penyelidik, penyidik dan penuntut juga sesuai Pasal 6 UU KPK.

Frasa "mengendalikan" harus ditafsirkan dalam pasal 42 jo Pasal 6 UU KPK tidak berdiri sendiri dan dihubungkan dengan prinsip equality before the law diperkuat Pasal 28D ayat (1) UUD45.

Demikian analisis hukum saya tentang polemik OTT KPK terhadap oknum anggota militer dalam kasus suap di Basarnas. Masih lebih banyak anggota militer yang taat hukum dan tidak melakukan tipikor.

*Penulis adalah Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya