MENGEJUTKAN, Rafael Alun menolak jadi saksi meringankan di sidang anaknya, Mario Dandy, 20, si penganiaya David Ozora, 17. Padahal, dari kekejaman Mario, publik menganggap, Rafael dulu terlalu memanjakan Mario. Kini anggapan itu berubah drastis.
Penolakan Rafael dalam surat, dibaca penasihat hukum Mario, Nahot Silitonga dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Selasa (25/7/2023).
Isi surat (sudah diedit, karena terlalu panjang) intinya dua hal, begini:
“Setelah kami berdiskusi dengan keluarga, intinya anak kami Mario Dandy Satriyo tidak mempergunakan haknya untuk menghadirkan orang tua sebagai saksi yang meringankan.”
“Semoga ada kesempatan kedua bagi anak kami, serta diberikan ruang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.”
Hal kedua, berikut ini:
“Tentang restitusi, yang disampaikan pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, keluarga kami memutuskan, kami tidak bersedia menanggungnya. Bahwa bagi orang dewasa, maka kewajiban membayar restitusi ada pada pelaku tindak pidana (Mario).”
Soal yang terakhir ini kontradiktif dengan keterangan ayah korban David, Jonathan Latumahina, di persidangan. Bahwa di awal penganiayaan Mario terhadap David (terjadi pada Senin, 20 Februari 2023) keluarga Mario mendesak ingin menanggung biaya pengobatan David. Bahkan, Jonathan mengatakan: “Ada beberapa
bodyguard mendatangi saya di rumah sakit, mendesak minta damai. Tapi saya tolak.”
Terkait itu, surat Rafael dilanjutkan begini:
“Bahwa benar sikap kami pada awal kejadian perkara ini berniat membantu tanggungan biaya pengobatan korban, namun sekarang kami tidak sanggup lagi. Karena aset dan rekening kami sudah diblokir KPK, dalam rangka saya sebagai tersangka gratifikasi.”
Ditutup doa Rafael, agar David cepat sembuh.
Berdasar Pasal 116 ayat (3) KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) disebutkan, setiap terdakwa berhak mengajukan saksi meringankan (
a de charge). Boleh digunakan, boleh juga tidak.
Sedangkan, restitusi yang harus dibayar terdakwa kepada korban, berdasarkan LPSK adalah Rp 120 miliar. Pembayaran ini yang ditolak Rafael. Berdasarkan hukum, jika itu tidak dibayar, maka dibebankan di hukuman penjara. Vonis hakim akan ditambah beban hukuman penjara kompensasi restitusi.
Artinya, Rafael sudah ikhlas anaknya diberi hukuman tambahan.
Keputusan Rafael itu bisa dianggap publik, bahwa kini ia sudah bisa menerima keadaan. Suatu kondisi yang pastinya tidak ia kehendaki. Tapi sudah terjadi. Publik menduga, ia dulu terlalu memanjakan Mario. Sehingga berakibat begitu. Bahkan, dugaan korupsi Rafael dibongkar KPK (diasumsikan, gegara kasus Mario), dan Rafael kini berstatus tahanan KPK.
Rafael secara psikologis kini mencapai titik equilibrium baru: Merelakan Mario menanggung sepenuhnya risiko hasil perbuatan. Sebagai lelaki dewasa. Setelah lima bulan lebih sepekan, sejak peristiwa penganiayaan 20 Februari 2023.
Tergolong waktu yang singkat. Umumnya orang butuh minimal enam bulan. Sejak berduka akibat suatu peristiwa traumatik, sampai psikologis normal. Disebut kesedihan berkepanjangan. Menuju
move on.
Dikutip dari
The New York Times, 25 Maret 2022 berjudul,
How Long Should It Take to Grieve? Psychiatry Has Come Up With an Answer, mengungkap hasil riset psikiatri tentang kesedihan berkepanjangan seseorang akibat peristiwa traumatik.
Disebutkan, American Psychiatric Association (APA) menerbitkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) pada 2013. DSM-5 adalah alat taksonomik dan diagnostik untuk kesedihan berkepanjangan.
DSM-5 dikoordinir Dr. Paul S. Appelbaum, selaku ketua komite pengarah yang mengawasi revisi DSM-5.
Sebelum ada DSM-5, Prof Holly Prigerson, Guru Besar Sosiologi Kedokteran dari Weill Cornell Medical College, AS, setelah melakukan riset, memasukkan kesedihan berkepanjangan sebagai gangguan kejiwaan yang diklasifikasikan dan dapat didiagnosis.
Terus, berapa lama umumnya orang bersedih sampai kembali normal? Jawabnya ternyata relatif. Tergantung manajemen koping (pengelolaan tekanan mental) individu. Dan, setiap individu berbeda-beda.
Namun disimpulkan rata-rata antara enam bulan sampai setahun. Jika individu diterapi psikiatri berdasar DSM-5. Walaupun ada orang yang tidak diterapi, bisa juga pulih seperti semula.
Pulih dalam hal ini, harus lulus tes psikiatri yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memang pulih. Terkait banyak hal. Gangguan tidur, gangguan makan, murung, emosi sensitif, sakit kepala tanpa sebab, dan banyak lagi.
Kalau individu diterapi, lama terapi 16 pekan. Dilakukan Dr M. Katherine Shear, profesor psikiatri dari Columbia University, New York City, AS. Salah satu bentuk terapi diungkap, begini:
Awalnya, pasien harus mengingat-ingat secara fokus tentang saat-saat terakhir sebelum peristiwa traumatik itu terjadi. Dibayangkan secara detail, hal-hal kecil pada saat sebelum, sampai terjadinya peristiwa tersebut. Selanjutnya, tidak diungkap detail. Mungkin harus ikut terapi, untuk mengetahui.
Akhirnya terapi itu dianggap para ahli, sebagai sukses.
2019, Dr Paul S. Appelbaum membentuk kelompok, terdiri dari Dr. Shear, dari Columbia University, dan Dr. Prigerson, kini profesor di Weill Cornell Medical College, untuk menyepakati kriteria pembeda, kesedihan normal dari kesedihan berkepanjangan.
Terkait itu, novelis top Amerika, Ann Hood dalam memoar bertajuk, "
Comfort: A Journey Through Grief" menggambarkan kematian putrinya, Grace, usia 5 tahun akibat infeksi radang. Dia sedih berkepanjangan.
Ann Hood mengkritik keras terapi psikiatri itu. Menyatakan, kurun waktu enam bulan sampai setahun sebagai diagnostik dalam terapi adalah "sewenang-wenang dan kejam". Karena, Hood membandingkan dengan pengalaman sebagai orang sedih berkepanjangan.
Namun, uniknya bahwa cara Hood menghadapi sedih mirip dengan langkah dalam terapi 16 pekan milik Dr M. Katherine Shear.
Digambarkan Hood, beberapa waktu setelah Grace meninggal, dia masuk ke kamar Grace. Dia melihat sepasang celana ketat balet Grace, tergeletak kusut di lantai, tempat gadis kecil itu menjatuhkannya.
Hood berteriak. “Bukan jenis jeritan yang berasal dari ketakutan,” tulisnya, “tetapi jenis yang berasal dari kesedihan terdalam yang bisa dibayangkan.”
Hood membanting pintu, membiarkan ruangan tidak tersentuh, dan akhirnya mematikan pemanas di bagian rumah itu. Dia larut dalam kesedihan mendalam.
Setahun kematian Grace, seorang teman Hood menyarankan, sudah saatnya kamar Grace dibersihkan. Justru supaya tidak menimbulkan kenangan menyedihkan. Dalam hal ini, banyak orang menyarankan begitu. Termasuk banyak orang Indonesia berpendapat begitu.
Tapi apa reaksi Hood atas saran teman itu? “Saya abaikan.” Hood membiarkan bekas kamar Grace tetap berantakan seperti ketika Grace masih ada. Hood justru terus larut dalam duka.
Tiga tahun kematian Grace, di suatu pagi yang cerah, Hood bangun tidur lalu masuk ke bekas kamar Grace. Tahu-tahu dia memasukkan mainan Grace dalam keranjang sampah. Juga barang-barang lainnya. Dia mengosongkan lemari, dan membuang semua isinya.
Tersisa beberapa sepatu kecil dideretkan di atas lemari. Cuma itu yang tidak dibuang.
Hood: “Saya tidak yakin, bagaimana saya berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Secara begitu saja. Secara tiba-tiba. Dan, sekarang saya sudah kembali ke dunia.”
Kalau Rafael sudah bisa
move on, belum tentu ayah David, Jonathan, kini lapang dada menerima tragedi itu. Sebab, antara posisi Rafael dengan Jonathan, berkebalikan. Antara keluarga pelaku dengan korban. Sama-sama traumatik, kualitasnya beda.
Pastinya, Jonathan menunggu vonis hukuman untuk Mario. Sebagai salah satu pengobat luka hati. Walau, seumpama Mario dihukum mati, pun tak mungkin mengobati trauma Jonathan sekeluarga. Karena kondisi David sangat parah. Setidaknya kualitas vonis sedikit mengobati.
Sekarang ‘bola panas’ ada pada hakim. Dalam pertimbangan rasa keadilan. Drama nyata ini sangat penting. Buat masyarakat dalam mendidik anak.
Penulis adalah Wartawan Senior