SAYA mampir Al Zaytun yang lagi diempas-empas badai medsos.
Sepi.
Ada suami-istri lagi mengantarkan anak. Sekolah akan dimulai. Ia dari Jakarta. Ia harus datang sendiri ke pedalaman Indramayu. Itu karena ia tidak bisa lagi transfer uang sekolah lewat bank.
Semua rekening Al Zaytun diblokir.
Sejumlah santri lagi menyapu jalan. Yakni jalan di depan gedung H.M Soeharto. Di situlah para santri latihan upacara bendera. Yakni untuk upacara 17 Agustus bulan depan.
Saya ke masjid baru nan megah yang belum selesai dibangun. Waktu duhur sudah agak telat.
Sepi.
Baru lantainya yang jadi. Belum ada dindingnya. Di dalam masjid itu terdengar alunan gamelan Jawa. Saya tolah-toleh dari mana kumandang gamelan itu.
Di atas tempat imam terbaca spanduk: menyambut peringatan 1 Suro. Tanggal 19 Juli 2023. Berarti kedatangan saya ini terlalu cepat sehari. Tanggal 19 saya harus di Pontianak.
Saya mondar-mandir di lantai pertama itu. Tidak ada orang. Meski baru lantai satu yang selesai tapi sudah digunakan. Salat Id berjarak yang ada seorang wanita di barisan depan yang viral itu di lantai ini. Lima lantai lainnya belum selesai.
Saya keliling di tengah lantai 99 x 99 meter itu. Bersih. Mengilap.
Saya mendongak ke atas. Terlihat bagian dalam kubah, jauh di atas sana. Meski enam lantai, bagian tengahnya bolong. Kalau pun Anda di lantai 6 bisa melongok ke lantai paling bawah.
Bedugnya besar sekali. Terbesar yang pernah saya lihat. Masih dibungkus plastik. Ditaruh di teras lantai 1. Ada tulisan Sudahkah Anda Salat? di dinding bedug itu.
Saya pun mencari sumber suara gamelan. Merdu sekali. Terpantulkan ke mana-mana. Saya naik ke lantai mezzanine. Lalu naik lagi ke lantai 2.
Di situlah para guru dan santri latihan gamelan. Itu untuk persiapan peringatan 1 Suro. Lagunya: tombo ati (obat sakit hati). Vokalisnya dua orang guru bahasa Inggris.
Akhirnya saya bertemu Pak Abdul Halim, salah seorang tangan kanan Syekh Panji Gumilang, pimpinan Al Zaytun. Saya pun minta diantar ke tempat yang oleh medsos disebut sebagai bunker tempat persembunyian.
Ternyata saya diajak ke basement. Ke ruang bawah tanah di bawah masjid itu.
Betul. Bunker. Basement.
Isinya penuh kayu jati. Banyak yang masih berbentuk gelondongan.
Itulah kayu untuk interior masjid. Sebagian sudah jadi lembaran. Lembaran itu diukir. Mengukirnya pakai mesin. Otomatis. Pisau ukirnya terhubung dengan pola yang ada di layar komputer.
"Masjid ini lahannya begitu luas. Mengapa harus punya basement?"
“Untuk tamu-tamu VIP. Mobil tamu VIP langsung ke basement. Lalu ke lantai 1 pakai lift atau eskalator," ujar Abdul Halim.
Mungkin publik lebih percaya medsos itu.
Lebih masif.
Lebih luas.
Lebih dramatis.
Sudah menjadi kebenaran baru.
Menurut Halim, Syekh Panji Gumilang sendiri yang membeli kayu jati itu. Sekian tahun lalu. "Sampai ke Bojonegoro, Cepu, dan sekitarnya," ujarnya. Daerah-daerah itulah ''ibu kota''-nya kayu jati.
Saya juga minta diantar ke bangunan yang menurut medsos adalah sinagog. Rumah ibadah agama Yahudi. Bangunan itu warna biru.
"Gedung inilah yang fotonya ditampilkan di medsos. Di medsos foto gedung ini ditempeli lambang sinagog. Di sini tidak ada logonya kan," ujar Halim.
"Gedung apa ini?"
"Kita masuk saja. Lihat sendiri", katanya.
Ternyata isi gedung itu mesin-mesin pengolah air. Masih baru. Belum beroperasi. Di ''sinagog'' inilah, menurut rencana, akan diproduksi air minum Al Zaytun. Menambah kapasitas produksi air minum di tempat yang lama.
"Lalu di mana gedung yang di medsos dibilang tempat pembuatan senjata itu?" tanya saya.
Saya pun dibawa ke sana. Terlihat tabung-tabung gas untuk las baja. Terlihat juga mesin-mesin bubut. Besi berserakan. Ada plang kecil bertulisan Al Abasyiah di bagian depan.
Inilah bengkel pembuatan perabot sekolah. Atau bengkel untuk menyiapkan rangkaian baja bagi semua proyek di sana.
Al Zaytun memang punya prinsip tidak keberatan kalau ada yang membangun sinagog di lokasinya. "Tapi untuk apa membangun sinagog kalau tidak ada yang sembahyang Yahudi di sini?" ujar Halim.
Pun gereja. Tidak akan keberatan kalau di situ dibangun gereja. Tapi untuk apa. Tidak ada yang Kristen di sini. Lalu saya diantar ke kantor Panji Gumilang. Lokasinya di mezzanine masjid baru.
Syekh Panji lagi berbincang dengan rombongan Pendeta Tjahjadi Nugroho dari gereja Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI).
Ruang tamunya besar. Berisi 18 sofa. Semua sofa tunggal. Syekh Panji duduk di sofa di ujung tengah.
Mereka bicara soal toleransi. Syekh Panji terlihat tidak setuju dengan istilah toleransi beragama. Dalam membahas toleransi jangan bicara agama. "Bisa bertengkar," katanya. Lebih baik bicara kerukunan tanpa menyinggung soal agama.
Mereka juga membahas soal lagu Indonesia Raya yang utuh. Yang tiga stanza. Di situ disebutkan Indonesia itu ''tanah mulia'', ''tanah suci'', dan ''tanah berseri''. Lengkap.
Dalam sejarah keagamaan tanah mulia itu Makkah dan Madinah. Tanah suci itu Jerusalem, Makkah, dan Madinah.
Tapi kita juga perlu tanah berseri. Itulah Indonesia. Mulia, suci, berseri, lengkap ada di Indonesia.
Kurang apa lagi untuk tidak ingin mati di Indonesia.
Panji terlihat tetap semangat berbicara soal toleransi. Sesekali ia tampak bicara sambil berdiri. Ia pakai baju lengan panjang. Berdasi.
Sesekali mengutip filsafat Jawa. Lengkap dengan tembangnya. Ia lagukan pula. Merdu. Sesekali pula Syekh Panji mengutip ayat Quran. Atau Taurat.
"Sejak kapan pakai dasi?"
“Sejak sekolah di Gontor, Ponorogo," katanya. Ia terus pakai dasi, sering juga lengkap dengan jas. Sampai tua di Gantar, di Indramayu ini.
"Punya berapa ratus dasi?"
"Tidak saya hitung. Banyak yang pemberian orang," katanya.
Kini di Al Zaytun orang tua santri harus membayar kontan. Ketika jual hasil bumi juga kontan. Itu untuk biaya operasional sehari-hari. Karyawan dan guru jumlahnya ratusan. Mereka tetap harus digaji. Mereka juga harus tetap makan. Tiga kali sehari.
Ruang makannya besar sekali. Lauknya harus menjamin tercukupinya gizi. Ikan, telur, ayam, sayur. Sedang nasinya tidak dibatasi. Boleh mengambil sekenyangnya. Santri tidak boleh lapar sampai harus menipu pengurus madrasah.
Semua lauk, semua nasi, semua sayur, semua buah diproduksi sendiri. Maka Zaytun punya banyak usaha di lahan pertaniannya sendiri.
Itulah sebabnya Al Zaytun punya banyak rekening bank. Lebih 150 rekening. Usaha bawang merah harus rekening sendiri. Kebun pisang rekening terpisah. Padi. Nanas. Air minum. Ikan. Semua punya rekening sendiri-sendiri.
Semua rekening itu atas nama dua orang pengurus madrasah. Hanya saja untuk setiap pengeluaran harus ada persetujuan Syekh Panji.
"Menjelang 17 Agustus ini sebenarnya kami akan mengecat semua gedung. Tapi rekening keburu dibekukan," ujar Halim.
Saya tidak lama di Al Zaytun. Sebelum magrib sudah harus ke Jakarta.
"Apakah heboh-heboh ini berpengaruh pada jumlah santri baru yang mendaftar?" tanya saya sambil pamit.
"Alhamdulillah tidak. Masih sama dengan tahun lalu. Ada 1.500 murid baru," jawabnya.