Berita

Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Yudhi Hertanto/Net

Publika

Kelirumologi, Capital Outflow Sektor Kesehatan

MINGGU, 16 JULI 2023 | 23:59 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

GAGAL paham! Dalam beberapa kesempatan peresmian rumah sakit, petinggi negeri berbicara tentang devisa keluar -capital outflow di bidang kesehatan. Disebutkan, angkanya hampir 2 juta orang dengan nilai kapitalisasi hingga 165 triliun rupiah.

Bila menilik nominal, nilainya fantastis. Tetapi perlu diingat urgensi kesehatan domestik jauh lebih besar dari sekedar besaran devisa. Bila hanya berfokus pada persoalan nilai uang yang hilang semata, justru akan mengaburkan substansi permasalahan kesehatan nasional yang kita hadapi.

Dalam dua aspek kajian, pernyataan mengenai persoalan kesehatan dan dampak devisa ekonominya ini terbilang “bengkok”. Pertama; kesehatan adalah persoalan pilihan pribadi, dan pasien keluar negeri menunjukan kemampuan daya beli, sehingga, opsi ke luar negeri merupakan pilihan sadar.


Kedua; jumlah pasien ke luar negeri, tidak bisa dibandingkan dengan besaran pasien yang terlayani di dalam negeri. Data konsolidasi BPJS Kesehatan memperlihatkan jumlah kepesertaan mencapai 257 juta, sekitar 95 persen populasi. Ukuran pelayanan kesehatan domestik ada dalam skala gigantik.

Kesehatan adalah faktor kompleks yang saling terkait, merentang dari aspek ekonomi, sosial, politik hingga budaya. Karena itu memahami perilaku pasien berobat keluar negeri, tidak serta merta dilakukan dengan memandang sebelah mata atas pelayanan kesehatan domestik.

Temuan dalam liputan investigasi Kompas (14/7) diketahui bahwa dua hal utama penyebab terjadinya fenomena berobat keluar negeri adalah, (i) kepercayaan dan (ii) tarif layanan. Pada kedua titik tolak itu, kita hendaknya membangun refleksi penting, tentang apa yang terjadi?.

Kontribusi terbesar dari langkah membangun sistem kesehatan yang dapat dipercaya, sekaligus memiliki harga terjangkau, jelas memerlukan peranan pengambil kebijakan. Komitmen dan dukungan itu harus termuat, tidak sebatas kehendak -political will, hingga aksi nyata -political act.

Terkait aspek kepercayaan -trust, dibutuhkan penguatan kapasitas pemberi pelayanan. Termasuk diantaranya melalui pemenuhan kompetensi, serta peralatan medis yang mumpuni, dan mengembangkan dimensi pengetahuan, yang dimulai sejak jenjang pendidikan.

Lalu bagaimana menciptakan layanan dengan biaya terjangkau? Di era BPJS Kesehatan, terjadi perubahan pola tarif dengan skema top down, bersifat instruksi dalam kerjasama pelayanan. Tarifnya murah, meski belum bisa merepresentasikan keadilan bagi pemberi layanan swasta.

Bila hendak maju dalam soal harga, intervensi pemangku kekuasaan menjadi dominan. Termasuk memberi insentif bagi institusi kesehatan, hingga keberpihakan dalam kebijakan perpajakan. Berbagai alternatif perlu disiapkan, guna menciptakan pelayanan kesehatan berkualitas serta mudah diakses.

Realitas seperti apa yang terjadi saat ini? Alat kesehatan dan bahan baku farmasi masih bergantung mekanisme impor, dikenakan pajak tinggi, hingga upaya pemenuhan kompetensi bagi tenaga medis menjadi tanggungan individu. Pendidikan di sektor kesehatan terbilang mahal, tanpa subsidi.

Dengan kondisi tersebut, semuanya kembali berpulang pada bagaimana kita mampu mendayagunakan kebijakan dengan menimbang perihal keberpihakan serta kepentingan publik. Perlu perencanaan strategis, lebih dari sekadar membuka ruang bagi institusi dan tenaga kesehatan asing.

Jangan sampai terjebak pada pengambilan keputusan jangka pendek, sementara tidak mempersiapkan langkah panjang dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimiliki. Metode instan kerap diambil sebagai pilihan, karena keliru dalam memahami pokok permasalahan.

Jika demikian, maka apa makna dari UU Kesehatan yang disahkan kemarin? Cara pandang melihat keluar -outward looking, dengan melihat pasien keluar negeri sebatas valuasi devisa, jelas tidak tepat. Apalagi memiliki rasa rendah diri -minderwaardigheids, atas segala hal berbau asing.

Kita perlu segera berbenah dengan perspektif ke dalam -inward looking, dengan menimbang seluruh kemampuan yang kita miliki saat ini sebagai modal dasar utama. Jelas kita mampu untuk itu, selama kekuasaan membentuk kebijakan dengan memperbesar ruang dengar. Semoga!

*Penulis Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya