Berita

Ilustrasi Pemilu 2024/RMOL

Publika

Kesehatan dalam Potret Kontestasi Politik

JUMAT, 30 JUNI 2023 | 11:48 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

SENYAP! Isu seputar sektor kesehatan belum terlihat dari ekspose politik para calon yang akan digadang berkontestasi pada kancah agenda politik 2024.

Hal ini seolah menandaskan bahwa agenda kesehatan nasional, memang baru menjadi bagian pelengkap penderita dalam aras politik. Bersifat sekunder.

Sebagian kalangan pendukung mungkin akan berkata, bila saat ini belumlah masuk periode kampanye dengan pernyataan terbuka visi-misi seorang kandidat. Hal itu benar adanya, tetapi kita tentu berharap semua kontestan mampu mengurai gagasan di berbagai bidang, termasuk pada ranah kesehatan.


Politik menjadi vital di bidang kesehatan, karena tanpa dukungan politik -political will akan sangat sulit membayangkan bagaimana format dari sistem kesehatan nasional.

Posisi penting dari pemunculan tema kampanye di bidang kesehatan, merupakan bentuk keseriusan guna membangun ketangguhan bangsa.

Hal itu menjadi signifikan bila mencermati ulasan Fasli Jalal, “Human Capital Index, Perlukah?”, Kompas (28/6) yang menyebut penempatan manusia sebagai sumber daya kehidupan bernegara hanya akan mewujud, jika terdapat komitmen untuk mendorong peningkatan kualitas dan derajat kesehatan publik.

Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian khusus, sebagaimana kajian Zainal Muttaqin, “Rapor Kesehatan Kita”, Kompas (26/6) bila berbagai indikator kesehatan nasional masih belum sampai pada target yang diharapkan. Situasi tersebut mencerminkan kegagalan. Perlu perspektif berbeda dalam mengatasinya.

Salah satu yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk melihat persoalan kesehatan, sebagai bagian dari agenda pembangunan secara keseluruhan.

Dengan begitu, pembentukan masyarakat yang sehat hanya akan dicapai bila ada program terintegrasi dari mulai aspek preventif hingga kuratif.

Secara samar, upaya untuk memastikan berjalannya keberlangsungan serta keberlanjutan program kesehatan nasional hanya akan dapat diraih dengan konsistensi dukungan di ruang politik.

Implementasi program aksi hanya akan dapat terjadi manakala terdapat keberpihakan dalam regulasi.

Bahkan lebih jauh lagi, sektor kesehatan membutuhkan politik anggaran yang mencukupi bagi usaha membangun sistem kesehatan nasional yang berkeadilan untuk semua lapisan masyarakat. Hal ini merupakan amanat dalam konstitusi kita, guna melindungi hajat hidup sehat seluruh warga negara.

Rasionalitas Melebihi Emosionalitas

Hiruk-pikuk kontestasi politik yang akan berujung pada proses pemilihan di 2024 nantinya, harus dimulai dengan upaya mendekatkan para tokoh pada problematika dan berbagai persoalan publik. Sehingga, mampu dimunculkan formulasi solusi sebagai janji kampanye, berbasis data -evidence based.

Harapan publik menempatkan fase pemilihan sebagai sebuah agenda perbaikan. Pengalaman pada 2019 lalu, publik seakan terbelah dan meruncing secara tajam berhadapan untuk pesta politik sesaat, yang berakhir pada pembagian kekuasaan tingkat elite. Kali ini, kita tidak ingin hal itu terulang kembali.

Ketika para tokoh dan calon yang akan berkontestasi memulai proses pengenalan diri, memantapkan popularitas dan berjibaku meningkatkan elektabilitas, maka hal yang perlu dipersiapkan adalah ide serta argumentasi yang akan menjadi kepentingan publik. Termasuk untuk sektor kesehatan nasional.

Para pendukung, baik simpatisan maupun relawan harus naik level. Tidak hanya mengakumulasi fanatisme akan aspek individual semata, tetapi juga mendorong terbentuknya rasionalitas akan kesadaran kepentingan bersama, sembari melepaskan jerat relasi emosional.

Karena kehidupan publik tidak hanya di waktu singkat periode kampanye, tetapi justru melintas jauh dalam durasi masa kekuasaan setelah seorang calon terpilih.

Pada tahap ini, kelompok masyarakat sipil bisa berperan menjadi mediator edukasi publik, semisal menggagas urun rembuk pandangan para calon di bidang kesehatan.

Para kandidat yang hingar-bingar di media mulai tampil menemui publik, masih dalam taraf permukaan. Seolah menunjukan wajah bersahabat pada publik, perlu diuji kembali.

Seperti bagaimana tanggapan mereka atas pembentukan RUU Omnibus Kesehatan? Strategi mengatasi defisit BPJS Kesehatan?

Potret kesehatan nasional harus terang-benderang, dan untuk itu jelas dibutuhkan visi kepemimpinan yang kuat untuk memastikan agenda dan sistem kesehatan nasional mendapatkan kelas prioritas, tidak lagi menjadi isu kelas kedua.

Kita perlu bukti nyata, lebih dari sekadar janji.

Penulis Tengah Menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya